Senin, 05 Oktober 2009

Sejarah Pendakian Gunung dan Panjat Tebing di Indonesia











Sejarah Pendakian Gunung dan Panjat Tebing di Indonesia1492

Sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Tak jelas benar tujuan mereka, tetapi yang jelas, sampai beberapa dekade kemudian, orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois, sejenis kambing gunung. Jadi mereka memanjat karena dipaksa oleh mata pencaharian, kurang lebih mirip para pengunduh sarang burung walet gua di tebing-tebing Kalimantan Timur atau Karang Bolong, Jawa Tengah.

1623
Yan Carstensz adalah orang Eropa pertama yang melihat “….. pegunungan yang sangat tinggi, di beberapa tempat tertutup salju !” di pedalaman Irian. Salju itu sangat dekat ke khatulistiwa. Laporannya tak dipercaya di Eropa, padahal belum lama berselang diberitakan ada juga salju di Pegunungan Andes dekat khatulistiwa.

1624
Masih berkaitan dengan pekerjaan juga, pastor-pastor Jesuit merupakan orang-orang Eropa pertama yang melintasi Pegunungan Himalaya, tepatnya Mana Pass (pass = pelana/punggungan yang terentang antara dua puncak), dan Garhwal di India ke kawasan Tibet.

1760
Profesor de Saussure agaknya begitu jatuh cinta pada Mont Blanc di perbatasan Perancis-Italia, sehingga dia menawarkan hadiah besar bagi siapa saja yang dapat menemukan lintasan ke puncaknya, untuk penyelidikan ilmiah yang diimpikannya. Sayang tak ada yang tertarik, terutama karena keder terhadap naga-naga yang konon mbaurekso di puncak gunung tertinggi di Eropa Barat itu.

1786
Setelah beberapa percobaan gagal, Puncak Mont Blanc (4807 m) digapai manusia. Mereka adalah Dr.Michel-Gabriel Paccard dan seorang pandu gunung, Jacques Balmat. Puncak tertinggi di Alpen yang didaki sebelumnya adalah Lysjoch (4153 m), tahun 1778.

1830
Alexander Gardiner melintasi Pelana Karakoram dari Sinkiang di Cina ke wilayah Kashmir di India.

1852
Ahli-ahli ukur tanah di India berhasil menentukan ketinggian Puncak XV, 8840 meter. Berarti puncak tertinggi di dunia, mengalahkan Puncak VIII (Kangchenjunga, 8598 m) yang sebelumnya dianggap paling tinggi. Puncak XV itu lalu diberi nama Everest (padahal aslinya orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma kata orang Tibet). Belakangan ketinggiannya dikoreksi, 8888 meter, lalu dikoreksi lagi menjadi 8848 meter, sampai sekarang.

1854
Batu pertama Zaman Keemasan dunia pendakian di Alpen, diletakkan oleh Alfred Wills dalam pendakiannya ke Puncak Wetterhom (3708 m), cikal bakal pendakian gunung sebagai olah raga.

1857
Alpine Club yang pertama berdiri, di Inggris.

1858
Ketinggian K2 (singkatan Karakoram nomer 2) terukur, 8610 meter, menggeser lagi kedudukan Kangchenjunga menjadi juara tiga.

1865
Dinding selatan Mont Blanc dipanjat untuk pertama kali lewat lintasan Old Brenva, menandai lahirnya panjat es (ice climbing). Sementara itu di Alpen bagian tengah, Edward Whymper dan enam rekannya berhasil menggapai Puncak Matterhorn (4474 m)di Swiss. Tetapi 4 anggota tim, yang saling terikat dalam satu tali, tewas dalam perjalanan turun, ketika salah seorang terpeleset jatuh dan menyeret yang lain. Musibah ini mengakhiri 11 tahun Zaman Keemasan. Tak urung lebih dari 180 puncak besar telah didaki dalam masa itu, sedikitnya satu kali, dan lebih dari setengahnya oleh orang-orang Inggris.

1874
WA Coolidge mendaki Puncak Jungfrau dan Wetterhorn di musim dingin, sehingga digelari Bapak Winter Climbing. Pada tahun 1870-an ini muncul trend baru, pendakian tanpa pemandu, yang segera menjadi ukuran kebanggaan di antara pendaki.

1878
Regu yang dipimpin Clinton Dent berhasil memanjat Aiguille du Dru di Perancis, memicu trend baru lagi, yaitu pemanjatan tebing-tebing yang tak seberapa tinggi namun curam dan sulit.

1883
WW Graham menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Pegunungan Himalaya dengan tujuan mendaki gunung sebagai olahraga dan petualangan. Dia mendaki beberapa puncak rendah di kawasan Nanda Devi dan Sikkim India, bahkan konon berhasil mencapai Puncak Changabang (6864 m).

1895
Percobaan pertama mendaki gunung berketinggian di atas 8000 meter, Nanga Parbat (8125 m), oleh AF Mummery. Orang Inggris yang sering disebut Bapak Pendakian Gunung Modern ini hilang pada ketinggian sekitar 6000 meter.

1899
Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian menemukan kebenaran laporan Yan Carstensz, yang dibuat hampir 3 abad sebelumnya. Maka namanya diabadikan di situ.

1902
Percobaan pertama mendaki K2, oleh ekspedisi dari Inggris.

1907
Ekspedisi di bawah Tom Longstaff mendaki Trisul (7120 m), puncak 7000-an yang pertama. Longstaff adalah orang pertama yang mencoba penggunaan tabung oksigen dalam pendakian.

1909
Ekspedisi Persatuan Ahli Burung dari Inggris (BPUE) memasuki rawa-rawa sebelah selatan kawasan Carstensz. Dalam 16 bulan mereka kehilangan 16 orang anggota mati dan 120 sakit.

1910
Karabiner buat pertama kali dipakai dalam pendakian gunung, diperkenalkan oleh pemanjat-pemanjat dari Munich, Jerman Barat, diilhami oleh penggunaannya dalam pasukan pemadam kebakaran.

1912
Eks anggota ekspedisi BPUE 1090, Dr.AFR Wallaston, kembali ke Irian bersama C.Bodden Kloss, dengan 224 kuli pengangkut barang dan serdadu. Tiga jiwa melayang.

1921
George L.Mallory dkk. berhasil sampai di North Col Everest dalam perjalanan penjajagan mereka dari sisi Tibet.

1922
Usaha pertama mendaki Everest berakhir pada ketinggian 8320 meter di punggungan timur laut.

1924
Mallory dan Irvine yang kembali mencoba Everest, hilang pada ketinggian sekitar 8400 meter. Rekannya, Edward Norton, mencapai 8570 meter, rekor waktu itu, sendirian dan tanpa bantuan tabung oksigen.

1931
Schmid bersaudara mencapai Puncak Matterhorn lewat dinding utara, sekaligus melahirkan demam North Wall Climbing. Peningkatan taraf hidup di Inggris dan Eropa daratan pada umumnya, menimbulkan perubahan pola penduduk kota melewatkan waktu luangnya, menyebabkan populernya panjat tebing.

1932
Grivel memperkenalkan cakar es (crampoon) model 12 gigi, yang karena efektifnya tetap disukai hingga kini.

1933
Comici dari Italia memanjat overhang dinding utara Cima Grande Lavredo di kawasan Dolomite, Alpen Timur, menandai aid climbing yang pertama. Sekitar tahun ini pula sol sepatu Vibram ditermukan oleh Vitale Bramini.

1936
Dr.A.H.Colijn, manajer umum perusahaan minyak Belanda dekat Sorong, dan geolog DrJ.J.Dozy, menemukan bijih tembaga di kawasan dinding timur Gletser Moriane, tak jauh dari kawasan Carstensz, Irian.

1937
Bill Murray mengubah tongkat pendaki yang panjang menjadi kapak es, menandai lahirnya panjat es modern.

1938
Dinding utara Eiger di Swiss akhirnya berhasil dipanjat, oleh tim gabungan Jerman Barat dan Austria, yang oleh Hitler diiming-imingi dengan medali emas olympiade. Dinding maut ini sebelumnya telah menelan cukup banyak korban, dan berlanjut hingga kini. .

1941
Ekspedisi Archbold ‘menemukan’ Lembah Baliem, kantung suku Dani dengan tingkat kebudayaan yang amat tinggi, di tengah belantara yang seolah tak berbatas dan tak tertembus. Irian kian jadi perhatian ilmuwan-ilmuwan dunia.

1949
Nepal membuka perbatasannya bagi orang luar.

1950
Tibet dicaplok Cina. Pendakian Himalaya dari sisi ini tak diperkenankan lagi. Maurice Herzog memimpin ekspedisi Perancis mendaki Annapurna (8091m), puncak 8000-an yang pertama, menandai awal 20 tahun Zaman Keemasan pendakian di Himalaya. Di Alpen, tali nilon mulai dipergunakan. Sebelumnya, tali serat tumbuhan hampir tak memiliki kelenturan, sehingga ada ‘hukum’ bahwa seorang leader tak boleh jatuh, sebab hampir pasti pinggangnya patah tersentak. Pakaian bulu angsa mulai membuat malam-malam di bivouac lebih nyaman.

1951
Don Whillan menemukan pasangannya, Joe Brown, duet pemanjat terkuat yang pemah dimiliki Inggris. Panjat bebas (free climbing) gaya Inggris menjadi tolok ukur dunia panjat tebing. Walter Bonatti dkk. menyelesaikan dinding timur Grand Capucin, awal aid climbing pada tebing yang masuk kategori big wall.
Bermula di Inggris, terjadi Revolusi Padas. Tebing batu gamping ternyata tak serapuh yang selama itu disangka. Tebing-tebing granit dan batuan beku lainnya mendapat saingan.

1952
Herman Buhl solo di dinding timur laut Piz Badile di Swiss, dalam waktu 4 1/2 jam. Inilah nenek moyang speed climbing. Rekor waktu pada rute tersebut, yang dibuat tahun 1937, 52 jam !

1953
Herman Buhl dkk. menggapai Puncak Nanga Parbat (8125 m), puncak 8000-an kedua yang didaki orang. Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris, menjadi manusia-manusia pertama yang berdiri di puncak atap dunia, Everest.

1954
Ekspedisi Inggris sukses di Kangchenjunga, ekspedisi Perancis sukses di Makalu (8463 m). Di Alpen, Don Whillan dan Joe Brown mencatat dinding Barat Aiguille du Dru dalam 2 hari, rekor lagi.

1955
Walter Bonatti solo pilar barat daya du Dru 6 hari.

1956
Ekspedisi Jepang berhasil mendaki Manaslu (8163 m). Jepang segera menjadi salah satu negara besar dalam dunia pendakian di Himalaya.

1957
Herman Buhl dan tim Austria mencapai Puncak Broad Peak (8047 m), sekaligus mematok pendakian pertama gunung 8000-an dengan alpine tactic.

1958
Lapangan terbang perintis dibuka pada beberapa lokasi di Irian, membangkitkan semangat para pendaki gunung untuk menjajal Carstensz, sang perawan salju di khatulistiwa.

1960
Claudio Barbier dari Belgia solo ketiga dinding utara di Tre Cima Laverdo dalam 1 hari. Pertama kali speed climbing menggunakan teknik gabungan free dan aid climbing.
Helm mulai sering digunakan para pemanjat tebing.
Harness menjadi wajib, menyusul kematian seorang pemanjat Inggris di Dolomite. Harness pertama yang diproduksi massal dan dijual untuk umum terbuat dari webbing, merek Tankey.
Tebing 48 Citatah mulai digunakan sebagai ajang latihan bagi pasukan Angkatan Darat kita.

1961
Ekspedisi dari Selandia Baru coba mendaki Carstensz Pyramide tapi mengalami kegagalan sebab keterlambatan dukungan logistik lewat jembatan udara.

1962
Puncak Cerstensz Pyramide akhirnya berhasil digapai oteh tim Heinrich Heiner. Juga Puncak Eidenburg didekatnya, oleh ekspedisi yang dipimpin oleh Phillip Temple.
Awal pemakaian baut tebing di Alpen; Tebing pantai mulai diminati. Pemanjat Amerika Serikat mulai bicara di Alpen, diawali Hemmings dan Robbins yang menciptakan lintasan super sulit di dinding barat du Dru.

1963
Tim gabungan Inggris-AS memanjat dinding selatan Aiguille du Fou, hardest technical climbing di Alpen waktu ilu, dengan teknik-teknik aid climbing gaya AS. Kode etik dalam panjat tebing mulai banyak diperdebatkan di rumah-rumah minum. Pemanjatan solo pertama Eiger Nordwand, oleh Michel Darbellay, dalam satu hari.
Bonatti dan Zapelli menyantap mix climbing (ice dan rock) tersulit di Alpen, dinding utara Grand Pilier d’Angle di Mont Blanc. Seorang ahli gletser yang baru kembali dari Antartika berusaha mendaratkan pesawat terbangnya di di Puncak Jaya, dekat Carstensz. Untung angin kencang mengurungkan niatnya, sebab salju tebal di sana terlalu lunak sebagai landas pacu. Tapi buntutnya, dua pesawat DC 3 kandas di lereng utara dan selatannya, pada ketinggian sekitar 4300 meter.

1964
Ekspedisi Cina berhasil mendaki Shisha Pangma (8046 m)di Tibet, satu-satunya puncak 8000-an yang terletak diluar Nepal dan Pakistan (Karakoram). Beberapa pendaki Jepang serta 3 orang ABRI, Fred Athaboe, Sudarto dan Sugirin, yang tergabung dalam Ekspedisi Cendrawasih, berhasil mencapai Puncak Carstensz (4884 m) di Irian. Dua perkumpulan pendaki gunung tertua lahir, Mapala Ul di Jakarta dan Wanadri di Bandung. Tahun ini dianggap awal sejarah pendakian gunung di Indonesia.

1965
Seratus tahun pendakian pertama Matterhorn diperingati dengan peliputan pendakian Hornli dkk. Oleh BBC/TV sampai ke puncak. Untuk pertama kalinya pendakian gunung maupun panjat tebing menjadi olahraga yang juga dapat ‘ditonton’ orang banyak.
Robbins dan John Harlin dri AS bikin lintasan lurus di dinding barat du Dru, mendemonstrasikan keunggulan pemanjat AS dalam pemanjatan panjang dan berat. Pemerintah Nepal menutup pendakian Himalaya di wilayahnya.

1967
Revolusi bagi para pemanjat es. Chouinnard memperkenalkan kapak es berujung lengkung, dan McInnes menawarkan jenis Terodactyl. Lahirnya sekrup es berbentuk pipa meningkatkan standar pemanjatan ice climbing.
Penggunaan tali kernmantle dipelopori oleh Inggris.

1968
Nafas segar bagi para pendaki, sejumlah lapangan terbang milik misi Katolik dibuka (Ji Irian. Tapi dasar sial, hampir bersamaan dengan itu Pemerintah Rl tidak lagi mengeluarkan izin pendakian di kawasan Carstensz.

1969
Reinhold Messner keluar dari pertapaannya di tebing-tebing Alpen Timur, meluruk ke barat, menyikat dinding es raksasa tes Drotes dalam waktu 81/2 jam solo, membuyarkan rekor sebelumnya, 3 hari.
Pemanjat-pemanjat Jepang mulai membanjiri pasaran di Alpen, antara lain bikin lintasan baru di Eiger.
Sensus yang dilakukan British Mountaineering Club (BMC) mengatakan, ada 45.000 pemanjat dan 500.000 walkers, di Inggris saja.
Nomer perdana majalah ‘Mountain’ beredar, menjadi media pendaki gunung dan pemanjat tebing pertama yang beredar luas dalam bahasa Inggris, sehingga banyak mempengaruhi perkembangan lewat perdebatan dan opini.
Pemerintah Nepal membuka kembali wilayahnya bagi pendakian Himalaya, dengan beberapa peraturan baru dan membatasi pendakian pada puncak-puncak yang terdaftar dalam permitted peaks saja. Agen-agen trekking komersial tumbuh dan berjibun seperti kutu yak, menggelitik kelompok-kelompok kecil dari luar ‘main-main’ di Himalaya dengan mudah dan murah.
Soe Hok Gie dan ldhan Lubis gugur di Gunung Semeru, terkena gas beracun.

1970
Dinding Selatan Annapurna dirambah tim Inggris, menggunting pita pembukaan era pendakian jalur-jalur sulit di gunung-gunung besar. Tingkat kesulitan lintasan menjadi lebih penting dari pada sekedar mencapai puncak. Ini tak lepas dari kian canggihnya perlengkapan panjat es, kecepatan pemanjatan meningkat drastis.
Di Alpen artificial climbing tambah populer dan kaya teknik. Kurang lebih tahun ini pula lahir cabang panjat dinding. Tebing buatan yang pertama dikenal orang kemungkinan besar didirikan di Universitas Leeds,Inggris. Perancangnya Don Robinson, yang kemudian juga merancang dinding panjat di Acker’s Trust, Birmingham, dinding panjat pertama yang diklaim mampu menampung segala pegangan, pljakan dan gerakan panjat tebing, sekaligus menawarkan bentuk sculpture yang artistik.
Sejalan dengan itu, bentuk-bentuk latihan terpisah dalam panjat tebing mulai menggema. Salah seorang pelopornya ialah Pete Livesey, pemanjat yang juga pecinta speleologi dan olahraga kano, serta punya dasar di atletik sebagai pelari. Pete tahu benar pentingnya latihan spesifik bagi jenis-jenis olahraga tersebut. Dan dia mencoba menerapkan prinsip yang sama pada panjat tebing. Pelan tapi pasti, panjat tebing mulai dipandang lebih sebagai kegiatan atletis, ketimbang sekedar ‘hura-hura di tebing’. Tak lagi memadai semboyan ‘best training for climber is climbing’, apalagi hanya dengan memupuk kejantanan lewat gelas-gelas bir, seperti yang selama & dianut.

1971
Kawasan Carstensz kembali dibuka untuk pendakian, segera diserbu oleh ekspedisi-ekspedisi dari Australia, Jerman, AS, bahkan Hongkong. Tahun ini pula Mapala UI berhasil mencapai Puncak Jaya, antara lain oleh Herman O. Lantang dan Rudy Badil, orang-orang sipil Indonesia pertama.

1972
Untuk pertama kalinya panjat dinding masuk dalam jadwal olimpiade, yaitu didemonstrasikan dalam Olympiade Munich.

1974
Pasangan Reinhold Messner dan Peter Habeler mendaki Hidden Peak (8068 m) di Karakoram, 3 hari dengan Alpine push, kemudian memecahkan rekor kecepatan Eiger, 10 jam.

1975
Ekspedisi dari Jepang menjadi tim wanita pertama yang menjejakkan Puncak Everest. Sementara itu Cina mengirimkan tim pertamanya, dari punggungan timur laut. Perlengkapan panjat es kian lengkap, lalu ramalan cuaca kian akurat dengan intervensi komputer. Akibatnya, seolah tak ada lagi pelosok Alpen yang terpencil.
Namun, bercak-bercak kapur magnesium mulai terasa merisihkan tebing-tebing di Inggris dan Eropa daratan, kebanyakan dituduhkan sebagai ulah pemanjat-pemanjat ‘hijau’, yang mengobral magnesium pada lintasan-lintasan yang seharusnya bisa dilampaui tanpa bubuk itu.

1976
Harry Suliztiarto tak sanggup lagi menahan obsesinya, dengan tali nilon dia mulai latihan panjat memanjat di Citatah, dan dibelay oleh pembantu rumahnya. Patok pertama panjat tebing modern di Indonesia.

1977
Skygers Amateur Rock Climbing Group didirikan di Bandung oleh Harry Suliztiaito, Agus Resmonohadi, Heri Hermanu, Deddy Hikmat. Inilah awal tersebarnya kegiatan panjat tebing di Indonesia.
Ekspedisi Selandia Baru coba mendaki Everest tanpa bantuan sherpa. Mereka cuma sampai South Col, tapi mereka mereka seolah memukul gong yang gaungnya merantak ke mana-mana, ‘ekspedisi berdikari’. Yang pro mengganggapnya sebagai kejujuran yang wajib, yang kontra melecehkannya sebagai kesia-siaan yang konyol. Perdebatan tak selesai hingga kini.

1978
Messner & Habeler menggegerkan dunia kangouw Himalaya dengan pendakian Everest tanpa bantuan tabung oksigen. Tambah geger ketika Messner bersolo karier di Nanga PQrtied dalam waktu 12 hari. Pendakian solo ini oleh banyak pakar dianggap lebih penting daripada pendakian tanpa oksigennya.
Pemerintah Nepal menambahkan beberapa permitted peaks.

1979
Harry Suliztiarto memanjat atap Planetarium, Taman Ismail Marzuki.

1980
Tebing Parang untuk pertama kalinya oleh tim ITB, di bawah pimpinan Harry Sulisztiarto. Wanadri untuk pertamakalinya menyelenggarakan ekspedisi ke Carstensz di Pegunungan Jayawijaya. Skygers menyelenggarakan sekolah panjat tebing untuk pertama kalinya. Sampai kini belum ada lagi kelompok yang membuat pendidikan panjat tebing untuk umum seperti ini.

Pemerintah Nepal membuka kesempatan pendakian musim dingin, di samping musim semi dan musim gugur. Kian banyak kaki meratakan jalan-jalan setapak dipelbagai pelosok Himalaya, kikan tinggi sampah menumpuk di sana-sini. Sebagai gantinya, konon mata uang asing makin deras mengalir ke sana. Tapi siapa yang tambah kaya?
1981
Dua ekspedisi Indonesia sekaligus di dinding Selatan Carstensz, Mapala Ul dan ITB. Salah seorang anggota tim Mapala Ul, Hartono Basuki, gugur di sini. Jayagiri dari Bandung mengirimkan Danardana mengikuti sekolah pendaki gunung di Glenmore Lodge, Skotlandia, dilanjutkan pendakian Matterhorn di Swiss.

1982
Jayagiri kembali mengirimkan orang, Irwanto, ke sekolah pendakian di ISM, Swiss, dilanjulkan ekspedisi 4 orang ke Mont Blanc di Perancis, dan Matterhorn serta Monte Rosa di Swiss.
Ahmad dari kelompok Gideon Bandung tewas terjatuh di Tebing 48 Citatah, korban pertama panjat tebing di Indonesia.

1984
UGM (Mapagama) mengirimkan Tim Ekspedisi Gajah Mada ke Irian Jaya. Tim panjatnya berhasil mencapai puncak Carstensz Pyramide melalui jalur normal.
Tebing Lingga di Trenggalek, Jawa Timur, serta tebing pantai Uluwatu di Bali, berhasil dipanjat oleh kelompok Skygers bersama GAP (Gabungan Anak Petualang) dari Surabaya.

1985
Tebing Serelo di Lahat, Sumatra Selatan, berhasil dipanjat oleh tim yang menamakan dirinya Ekspedisi Anak Nakal. Ekspedisi Mapala Ul gagal mencapai Puncak Chulu West (6584 m) di Himalaya, Nepal. Ekspedisi Jayagiri gagal memanjat Eiger Nordwand.

1986
Kelompok gabungan Exclusive berhasil memanjat Tebing Bambapuang di selatan Toraja, Sulawesi Selatan.
Ketompok UKL (Unit Kenal Lingkungan) Univeritas Pajajaran Bandung memanjat tebing Gunung Lanang di Jawa Timur.
Pemanjat-pemanjat Jayagiri Bandung merampungkan Dinding Ponot di air terjun Sigura-gura, Sumatera Utara.
Ekspedisi Jayagiri mengulang pemanjatan Eiger, berthasil, menciptakan lintasan baru. Mapala Ul mengirimkan ekspedisi ke Puncak Kilimanjaro (5895 m) di Afrika antara lain Don Hasman (Wartawan Mutiara).
Kompetisi panjat tebing pertama di dunia diselenggarakan di Uni Soviet, di tebing alam, dan sempat ditayangkan juga oteh TVRI.

1987
Empat Anggota Ekspedisi Aranyacala Universitas Trisakti tewas diserang Gerombolan Pengacau Irian dalam perjalanan menuju Jayawaijaya.
Ekspedisi Wanadri menyelesaikan pemanjatan Tebing Batu Unta di Kalimantan Barat. Kelompok Trupala memanjat tebing Bukit Gajah di Jawa Tengah. Sepikul di Jawa Timur disantap Skygers.
Beberapa ekspedisi dan pendaki Indonesia dikirimkan keluar negeri. Mapala Ul ke Puncak Chimborazo (6267 m)dan Cayambe (gagal) di Pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Ekspedisi Wanita Indonesia Mendaki Himalaya ke lmja Tse, Himalaya, hampir bersamaan dengan dua anggota Ekspedisi Jayagiri Saddle Marathon yang sedianya berambisi memanggul sepeda ke puncak namun terhadang birokrasi Nepal. Di Afrika, ekspedisi sepeda ini berhasil mencapal puncak tertingginya, Kilimanjaro (5895 m) dan Mount Kenya (5199 m, tanpa sepeda).
Ekspedisi Wanadri gagal mencapai Puncak Vasuki Parbat (6792 m) di Garhwal Himalaya, India.
Lomba panjat tebing pertama di Indonesia dilaksanakan di tebing pantai Jimbaran di Ball.

1988
Dinding panjat buat pertama kali diperkenalkan di Indonesia, dibawa oleh 4 atlet pemanjat Prancis yang diundang atas kerjasama Kantor Menpora dengan Kedubes Perancis di Jakarta. Mereka juga sempat memberikan ilmu lewat kursus singkat kepada pemanjat-pemanjat kita. Bersamaan, lahir Federasi Panjat Gunung & Tebing Indonesia, diketuai Harry Suliztiarto.
Untuk pertama kalinya disusun rangkaian kejuaraan untuk memperebutkan Piala Dunia Panjat Dinding yang direstui dan diawasi langsung oleh UIAA (badan Internasional yang membawahi federasi-federasi panjat tebing dan pendaki gunung), diawali dengan kejuaraan di Snowbird, Utah, AS.
Ekspedisi panjat tebing pertama yang dilakukan sepenuhnya oleh wanita, Ekspedisi Putri Parang Aranyacala, Tower III. Sedangkan kelompok putranya memanjat Tebing Gunung Kembar di Citeureup, Bogor.
Ekspedisi UKL Unpad Bandung di Batu Unta, Kalbar, kehilangan satu anggotanya, Yanto Martogi Sitanggang jatuh bebas. Speed climbing pertama di Indonesia dilakukan oleh Sandy & Jati, di dinding utara Parang, 3 jam. Sekaligus merupakan pemanjatan big wall pertama tanpa menggunakan alat pengaman sama sekali, keduanya hanya dihubungkan dengan tali.
Lomba panjat ‘tebing buatan’ pertama dilakukan di Bandung, mengambil dinding gardu listrik.
Ekspedisi Wanadri berhasil menempatkan 3 pendakinya di Puncak Pumori (7145 m) di Himalaya, Nepal, disusul pasangan Hendricus Mutter dan Vera dari Jayagiri mendaki Imja Tse (6189 m), tanpa bantuan sherpa.
Lalu di Alpen, Ekspedisi Jayagiri Speed Climbing gagal memenuhi target waktu 2 hari pemanjatan dinding utara Eiger, mulur menjadi 5 hari. Sedangkan ekspedisi dari Pataga Jakarta berhasil menciptakan lintasan baru di dinding yang sama.
Di Yosemite, AS, Sandy Febyanto dan Jati Pranoto dari Jayagiri memanjat Tebing Half Dome (gagal memecahkan retor John Bachar & Peter Croft 4,5 jam) dan Tebing El Capitan (gagal memecahkan rekor 10,5 jam).

1989
Awal tahun dunia panjat tebing Indonesia merunduk dilanda musibah, gugurnya salah satu pemanjat terbaik Indonesia, Sandy Febyanto, jatuh di Tebing Pawon, Citatah. Tapi tak lama, semangat almarhum seolah justru menyebar ke segala penjuru, memacu pencetakan prestasi panjat tebing di Bumi Pertiwi ini.
Tim Panjat Tebing Yogyakrta/TPTY melakukan ekspedisi ke Dinding Utara Carstensz tetapi gagal mencapai puncak secara direct, namun jalur normal Carstensz berhasil dipanjat sebelumnya.
Kembali kawasan Citeureup dirambah anak Aranyacala, kali ini Tebing Rungking.
Arek-arek Young Pioneer dari Malang memanjat tebing Gajah Mungkur di seputaran dalam kawah Gunung Kelud. Kemudian tim Jayagiri dalam persiapannya ke Lhotse Shar di Nepal, mematok target memanjati semua pucuk-pucuk tebing sekeliling kawah Kelud tadi, tapi tak berhasil. Ekspedisi Lhotse Shar itu sendiri batal berangkat.
Tebing Uluwatu dipanjat ekspedisi putri yang kedua, dari Mahitala Unpar.
Kelompok MEGA Universitas Terumanegara melakukan Ekspedisi Marathon Panjat Tebing, beruntun di tebing-tebing Citatah, Parang, Gajah Mungkur, dan berakhir di Uluwatu, dalam waktu hampir sebulan, marathon panjat tebing pertama di Indonesia. Ekspedisi Putri Lipstick Aranyacala dia Bambapuang, tapi musibah menimpa sebelum puncak tergapai. Ali Irfan Batubara, fotografer tim, tewas tergelincir dari ketinggian.
Tahun ini tercatat tak kurang dari sepuluh kejuaraan panjat dinding diselenggarakan di Indonesia. Beberapa yang besar antara lain di Universitas Parahyangan Bandung, Universitas Trisakti Jakarta, ISTN Jakarta, di Markas Kopassus Grup I Serang, dua kali oleh Trupala SMA-6 (di Balai Sidang dan Ancol), lalu SMA 70 Bulungan Jakarta, kelompok KAPA FT Ul, Geologi ITB.
Mapala Ul bikin 2 ekspedisi, Mount Cook (3764 m) di Selandia Baru dan Puncak McKinley (6149 m) di Alaska. Empat anggota Wanadri mengikuti kursus pendakian gunung es di Rainier Mountaineering Institute di AS, dilanjutkan dengan bergabung dengan ekspedisi AS ke Kangchenjunga di Himalaya.
Di Alpen, Ekspedisi Wanita Alpen Indonesia berhasil pula merampungkan misinya, mendaki 5 puncak tertinggi di 5 negara Eropa, Mont Blanc (4807m, Perancis), Grand Paradiso (4601 m, Italia), Marts Rosa (4634 m, Swiss), Grossgiockner (3978 m, Austria) dan Zugsptee (2964 m, Jerman Barat).
Akhir tahun ini ditutup dengan gebrakan Budi Cahyono melakukan pemanjatan solo di Tower III Tebing Parang. Artificial solo climbing pada big wall yang pertama di Indonesia.

1991
Aryati menjadi wanita Asia pertama yang berhasil menjejakkan kakinya di Puncak Annapurna IV, Himalaya, pada Ekspedisi Annapurna Putri Patria Indonesia.
Tim Srikandi Tim Panjat Tebing Yogyakarta (6 orang) membuat jalur di Bukit Tanggul, Tulung Agung, Jawa Timur.

1992
Dunia petualangan Indonesia kembali berduka karena kehilangan dua orang terbaiknya, Norman Edwin dan Didiek Syamsu, anggota Mapala UI tewas di terjang badai di Gunung Aconcagua, Argentina.
Ekspedisi Pemanjat Putri Indonesia menjejakkan kakinya di Puncak Tebing Cima Ovest, Tre Cime, Italia.
Ekspedisi Putri Khatulistiwa Tim Panjat Tebing Yogyakarta memanjat dinding utara Bukit Kelam, Sintang, Kalimantan Barat.

1996
Clara Sumarwati membuat kontroversi dalam pendakiannya di Everest, puncak tertinggi di Pegunungan Himalaya pada tanggal 26 September 1996. Banyak pihak di Indonesia yang meragukan bahwa kedua kakinya telah menjejak puncak tertinggi di dunia itu. Tetapi berdasarkan data dari Adventure Stats.com pada bulan Januari 2002 nama Clara Sumarwati telah tercatat sebagai pendaki Everest ke 836.

1997

Pratu Asmujiono menyusul Clara menjejakkan kakinya di Puncak Everest pada tanggal 26 April. Menurut catatan Adventure Stats.com, ia merupakan orang yang ke 851. Asmujiono berangkat bersama tim Ekpedisi Everest Indonesia yang merupakan gabungan anggota Kopassus dan pendaki sipil lainnya.

(GS,Bahan: katalog LPDN, berbagai sumber).


Kisah Norman Edwin-Didiek Samsu di Aconcagua

TIM MAPALA UI ALAMI MUSIBAH , KOMPAS - Kamis, 25 Mar 1992 .

Tim Ekspedisi Puncak Tujuh Benua Universitas Indonesia ke Puncak Aconcagua (6.960 meter) mengalami musibah. Berita terakhir dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Cile menyampaikan hari Minggu (22/3) telah menerima telepon dari Puenta del Inca, kota terakhir di Argentina sebelum Puncak Aconcagua di Pegunungan Andes Amerika Selatan, dua orang anggota tim Mapala UI yaitu Norman Edwin(37) dan Didiek Samsu (28), mengalami musibah.

Hari Senin (23/3) sekitar pukul 19.30 waktu setempat atau pukul 05.30 pagi hari Selasa (24/3), diperoleh berita dari Kedutaan Besar Argentina di Santiago, Cile, tim SAR Argentina sudah melakukan pencekan atas kemungkinan musibah itu dan sudah menemukan salah seorang dari mereka, tanpa dirinci kondisinya.
Seorang lagi, sampai berita ini diturunkan masih terus dicari. Sampai berita ini diturunkan, berita musibah yang menimpa wartawan Kompas - Norman - dan wartawan Majalah Jakarta Jakarta - Didiek Samsu, masih belum dapat dikonfirmasikan peristiwa dan rincian musibah sebenarnya.

Pendakian ulang

Pendakian kedua pendaki Indonesia ini, sebetulnya merupakan pendakian ulangan. Saat pertama, rombongan ekspedisi berjumlah lima anggota (Rudy Nurcahyo, 24, Mohammad Fayez, 23, serta satu anggota putri Dian Hapsari, 24) ini sudah melakukan pendakian, tanggal 12 - 27 Februari 1992.
Namun dua hari menjelang tiba di puncak, Fayez mendapat kecelakaan. "Tangan saya terkilir, lalu Norman dan Rudy menolong saya, namun kami terperangkap badai salju. Baru lima hari kemudian, kami bertiga tiba di Puenta del Inca.
Sedangkan Didiek bersama Dian, sudah tiba lebih dulu ke bawah," ujar Fayez yang Jumat 13 Maret sudah tiba di Jakarta, bersama Dian.Setelah dirawat di rumah sakit, ternyata Rudy dan Norman harus diamputasi ruas jari mereka, akibat serangan radang beku (frost bite). "Norman dipotong satu ruas jari tengah tangan kirinya, sedang Rudy diamputasi satu ruas jari telunjuk, tengah, jari manis dan kelingking tangan kirinya, serta satu ruas jari manis tangan kirinya,' tutur Fayez.

Rudy harus dirawat di rumah sakit di Santiago, sedangkan Norman bersama Didiek, pimpinan dan wakil pimpinan tim pendakian - memutuskan untuk mendaki ulang."Saya bersama Dian pulang lebih dahulu, karena tiket hampir kadaluwarsa," kata Fayez.
Norman yang baru sembuh, bersama Didiek mendaki lagi.Pendakian kali ini menurut rencana akan mengambil rute timur yang "normal" (berbeda dengan pendakian pertama di jalur barat yang lebih berat).
Menurut rencana kedua wartawan pendaki ini, perjalanan mereka untuk mencapai puncak kelima dari tujuh puncak tertinggi di tujuh benua dunia, hanya berlangsung antara tanggal 11 sampai 21 Maret 1992. "Saya rasa, petugas SAR yang mencatat rencana Norman dan Didiek, setelah lewat tanggal itu segera mencari.
Akhirnya, ya itu, fax dari KBRI menyatakan kalau tim SAR menemukan salah satu dari mereka tanpa rincian musibahnya, serta menyebut kalau seorang lagi, entah siapa, belum ditemukan," ungkap Fayez.

Badai salju

KBRI Cile di Santiago, dikabarkan kini berupaya mendatangi langsung tempat kejadian peristiwa di Puenta del Inca. Namun menurut kabar terakhir, badai salju melanda pegunungan tengah itu, hingga helikopter carteran pun susah melintasinya.
Sedangkan dari Puenta del Inca yang tak punya hubungan telepon, sumber di sana menyatakan kalau tim SAR terus sedang mencari dan mengidentifikasi musibah sebenarnya.Rektor UI Prof Dr Sujudi yang sudah menerima kabar ini langsung dari Deplu RI, menyatakan pihak UI tetap memonitor perkembangan kabar musibah ini.
Serta akan menghubungi Deplu RI dan beberapa instansi terkait untuk bantuan yang dibutuhkan. Juga direncanakan, tim UI akan mengirim tim pendamping dari Jakarta dalam waktu dekat
ini.(bd/sur)

Musibah Puncak Aconcagua: Didiek Meninggal, Norman Dicari. KOMPAS - Kamis, 26 Mar 1992

Musibah Puncak Aconcagua yang menerpa dua anggota Tim Ekspedisi Puncak Tujuh Benua Universitas Indonesia di Argentina, Kedubes RI di Cile mengkonfirmasikan kalau tim SAR Argentina bersama staf KBRI, sudah mengidentifikasi satu jenazah itu Didiek Samsu (30).
Sedangkan pendaki lainnya, Norman Edwin (37), sampai berita ini diturunkan masih belum ditemukan di sekitar tempat kejadian - di ketinggian 6.200 meter - menjelang puncak gunung tertinggi di benua Amerika Selatan.Dubes RI untuk Cile, Dr Sukarno Hardjosudarno, menegaskan kepada Kompas: "Jenazah yang kemarin belum dapat diidentifikasi itu, kini sudah pasti Didiek Samsu Wahyu Triachdi.
Sedangkan Norman mungkin masih hidup, namun tim SAR sampai kini belum dapat menemukannya," ujar Sukarno melalui telepon. "Situasi medan di ketinggian 6.400 meter yang kini bercuaca buruk, menyulitkan proses evakuasi dengan helikopter.

Tiga staf kami bersama Rudi Nurcahyo - anggota ekspedisi Mapala UI yang baru sembuh setelah diamputasi lima ruas jari tangannya, kini masih memonitor perkembangan SAR itu di Puente del Inca pada ketinggian 2.720 meter."Dalam teleks terakhir dari KBRI di Cile, dijelaskan Norman sebagai pemimpin tim ekspedisi yang berstatus sebagai wartawan Kompas yang mengambil cuti "di luar tanggungan perusahaan", diperkirakan mengambil rute menurun melalui Plaza Argentina yang lebih sulit, dibanding rute normal Plaza de Mulas.

Dengan rute ini, Norman seharusnya sudah tiba di Plaza Argentina di Puenta del Inca pada tanggal 25 Maret pukul 18.00 waktu setempat atau 26 Maret pukul 05.00 WIB. Selanjutnya menurut teleks KBRI: Bila ternyata Norman Edwin belum tiba di Punta del Inca ... maka tim pencari yg sudah berada di lokasi sekitar Plaza Argentina akan memperpanjang pencariannya dua hari lagi.Khususnya soal Didiek Samsu, pihak KBRI di lokasi mengkorfimasi kalau kendala cuaca buruk, serta medan sulit untuk evakuasi jenazah dari ketinggian 6.400 turun ke 4.200 meter, memerlukan waktu sekitar 10 hari.
Dari sana, jenazah harus dibawa lagi ke Mendoza di Argentina untuk visum dan perawatan, baru setelah itu diterbangkan helikopter ke Santiago. "Saya memperkirakan sekitar tanggal 5 April, jenazah itu baru dapat kami urus di Santiago, serta mengurus evakuasi secepatnya ke Jakarta," kata Sukarno melalui telepon perihal jenazah Didiek - pendaki gunung dan arkeolog UI, juga wartawan Majalah Jakarta Jakarta.

Musibah kedua

Norman dan Didiek - pimpinan dan wapim ekspedisi ini - di antara ketiga kawan lainnya, Rudi Nurcahyo (24), Mohammad Fayez (23) dan Dian Hapsari (24), memang terbilang jauh lebih berpengalaman dibanding ketiga rekannya. Norman dan Didiek dalam proyek UI mendaki ke-7 puncak benua di dunia, sejauh ini sudah berhasil mengibarkan bendera UI di lima puncak: Puncak Carstensz Pyramid 4.884 m di Irian Jaya, Puncak McKinley 6.194 m di Alaska AS, Puncak Kilimanjaro 5.894 m di Tanzania, Puncak Elbrus 5.633 m di eks-Uni Soviet dan kemungkinan Puncak Aconcagua 6.959 m di Argentina.

Sasaran Puncak Aconcagua kali ini, merupakan lanjutan sebelum pendakian ke puncak Vinson Massif 4.877 m di Kutub Selatan dan Puncak Everest 8.848 m di Himalaya. Sebelum pendakian bermusibah ini, tim beranggota lima anggota sebetulnya sudah mendaki melalui rute Plaza Argentina yang lebih sulit dibanding jalur normal - 12 sampai 27 Februari 1992.
Sayangnya datang awal musibah, hanya tinggal lima jam di saat tim sudah menjejak di ketinggian 6.400 m. Fayez terjatuh menggelinding sekitar 500 m ke bawah dan terkilir lengan kanannya, mengharuskan tim menolong dan turun kembali untuk perawatan - termasuk amputasi jari tangan - di Santiago.
Setelah mendapat perawatan di Santiago, serta memulihkan kesehatan mereka, Norman dan Didiek memutuskan mengirim kembali ke Jakarta Fayez dan Dian, serta Rudi diharuskan istirahat untuk pemulihannya kesehatan. Lalu Norman yang diamputasi satu ruas jari tengah tangan kanannya, bersama Didiek kembali lagi dan menyusun rencana ekspedisi ulangan ke Aconcagua - 11 sampai 20 Maret 1992 - melalui rute normal melalui Plaza de Mulas.

Kabar musibah pun tiba, KBRI di Cile pada hari Selasa 24 Maret, mengabarkan musibah Ouncak Aconcagua ini. Bahkan kini dipastikan, Didiek Samsu meningal dunia, Normal Edwin masih dalam pencarian.Sore tadi, pihak Rektorat UI sudah melaporkan musibah ini ke Deplu RI, Mensesneg dan Kantor Menpora. Juga keluarga Achmad Effendi sudah mengetahui kepastian musibah putra mereka - Didiek Samsu. Begitu pun Karina Arifin dan Melati - istri dan putri Norman Edwin, sudah menerima kabar tak menyenangkan ini.
Diharapkan dalam waktu singkat, Universitas Indonesia akan mengirimkan tim pendukung yang akan bekerja sama dengan KBRI di Cile, mengurus evakuasi Didiek Samsu dan mencari Norman Edwin.(sur/bd)

Musibah Aconcagua. Badai Salju Menghambat Pencarian
KOMPAS - Jumat, 27 Mar 1992

Badai salju di Gunung Aconcagua, Argentina, yang sudah berlangsung sejak hari Kamis (26/3) pagi sekitar pukul 05.00 pagi WIB atau malam hari Rabu (25/3) sekitar pukul enam petang waktu Argentina, menghambat pencarian Norman Edwin.
"Pencari menghentikan usahanya karena badai salju itu tidak berhenti," kata Duta Besar Indonesia untuk Cile, Dr Sukarno Hardjosudarno, melalui telepon kemarin malam.Berdasarkan perhitungan Tim SAR Argentina, jika benar Norman Edwin memilih jalur ke Plaza Argentina seperti dugaan sebelumnya, hari Rabu petang sudah tiba di Plaza Argentina, base camp Tim Indonesia (4.200 meter).

Tetapi karena badai tidak juga reda Tim SAR tidak bisa mencek ke Plaza Argentina apakah Norman sudah berada di sana. "Diharapkan sore nanti (hari Jumat, 27/3, subuh waktu Jakarta,Red) jika badai reda pencarian bisa dimulai lagi," tambah Sukarno. Seandainya badai salju belum juga reda, menurut keterangan Sukarno, jenazah Didiek Samsu, salah satu korban yang berada di ketinggian 6.400 meter, paling cepat baru bisa dievakuasi sebulan atau dua bulan lagi. Karena itu, "Sebaiknya mereka yang akan ke sini jangan terburu-buru berangkat. Tunggu kabar dari saya. Takutnya telalu lama di sini. Sebaiknya dikoordinasikan dulu," saran Sukarno.
Dari Kedutaan Besar Indonesia untuk Argentina segera diutus dua orang menuju Mendoza. "Kemungkinan yang berangkat saya dan Pak Gde Arsa Kadjari Sekretaris I," kata Medy Ch. Djufrie, Sekretaris II KBRI Argentina, kemarin ketika dihubungi melalui telepon di Buenos Aires. Mereka terutama yang akan membuat visum di Mendoza.

Kecepatan 240 km/jam

Memang cuaca adalah hambatan utama pendakian Puncak Aconcagua, setinggi 6.959 meter dari permukaan laut. Badai salju amat ditakuti oleh pesawat-pesawat yang melintas di atasnya. Pada puncaknya tercatat "badai putih" bisa terjadi dengan kecepatan 240 kilometer perjam dan bisa menurunkan suhu hingga minus 42 derajat Celsius.
Bagi para pendaki Aconcagua, tantangan terberat adalah masa aklimatisasi, penyesuaian kondisi tubuh terhadap ketinggian. Dari laporan-laporan pendakian yang ada, proses ini rata-rata memakan waktu sekitar satu minggu. (tom/sur)

BADAI SALJU MASIH MENGHAMBAT PENCARIAN, KOMPAS - Sabtu, 28 Mar 1992

Hujan salju di kawasan Gunung Aconcagua, Argentina, yang sudah berlangsung selama dua hari sejak hari Rabu (25/3), sampai berita ini diturunkan masih belum reda. "Tim evakuasi baru berangkat hari ini (Jumat siang, 27/3 waktu Argentina, Red) kalau hujan salju berhenti. Kalau masih belum berhenti tidak bisa berangkat," kata Duta Besar Indonesia untuk Cile, Dr Sukarno Hardjosudarno, Jumat(27/3) malam melalui telepon.

Sukarno juga menginformasikan semalam, ketebalan lapisan salju di ketinggian 4.200 meter saja sudah mencapai 40 centimeter.Di tempat yang lebih tinggi dikhawatirkan salju lebih tebal lagi. Jenazah Didiek diperkirakan tertutup salju yang cukup tebal sehingga sulit ditemukan kembali saat ini. "Perlu waktu lama untuk mengevakuasinya," ungkap Sukarno.
Norman Edwin sampai Jumat siang waktu Argentina masih belum diketahui berada di mana, karena belum juga kembali. Menurut perkiraan Tim SAR Argentina, kemungkinan Norman menempuh jalur turun menuju ke Plaza Argentina (4.200 meter), jalur yang lebih sulit dibandingkan jalur normal yang lebih mudah melalui Plaza de Mulas (4.200 meter di lokasi berbeda), ulas Sukarno.

Kalau musin mendaki Plaza de Mulas dipenuhi oleh para pendaki karena biasanya dijadikan base camp sebelum mulai pendakian melalui jalur normal. Tetapi, "Sekarang sudah lewat musim mendakinya. Musim pendakian biasanya hanya sampai tanggal 15 Maret. Jadi di Plaza de Mulas tidak ada orang sama sekali sekarang," kata Sukarno menjelaskan.
Usaha pertama Tim Pendaki Indonesia mencapai puncak Aconcagua juga melalui jalur Plaza Argentina. Mulai berangkat dari dari Puente del Inca (2.720 meter) tanggal 12 Februari dan tanggal 16 Februari seluruh anggota tim baru tiba di Plaza Argentina (4.200 meter) yang dijadikan base camp, cerita Moch. Fayez, salah satu anggota tim.
Dari base camp, perjalanan mengarah ke barat. Tanggal 24 Februari seluruh tim sudah sampai di ketinggian 6.300 meter. Besoknya, tanggal 25 Februari, Norman dan Didiek, berangkat dahulu menuju puncak yang tingginya 6.959 meter. Baru kemudian disusul oleh anggota tim lainnya.

Tetapi, pendakian dihentikan ketika sudah sampai di ketinggian 6.550 meter, kurang lebih 409 meter dari puncak Aconcagua, karena terhadang badai. "Padahal kami bertiga baru saja mulai mulai berangkat," cerita Fayez. Perjalanan turun diputuskan melalui Plaza de Mulas (4.200 meter).
Dalam perjalan kembali ke base camp, Fayez mengalami musibah tergelincir hingga bonggol sikunya lepas. Dan, dua anggota tim lainnya, Norman dan Rudi, harus merelakan beberapa jarinya diamputasi.
Satgas khusus

Sementara itu Ketua BPLK (Badan Pembinaan Lingkungan Kampus) Universitas Indonesia, Harun Gunawan, yang juga staf Pembantu Rektor III UI, mengatakan bahwa pihak UI telah membentuk satuan tugas khusus di bawah pimpinan Purek III Merdias Almatsier sehubungan dengan musibah yang menimpa tim UI itu.

Rektor UI Sujudi sendiri saat ini sedang berada di Bangkok, Thailand, sampai Selasa (31/3).Menurut Harun yang dihubungi Kompas di gedung rektorat UI kemarin, satgas ini akan mempersiapkan segala hal tentang musibah itu, termasuk penyambutan jenasah Didiek Samsu, dan pemantauan keadaan Norman Edwin. "Kami terus kontak dengan Kedubes RI di Cile," katanya.
Harun juga mengatakan bahwa setidaknya sampai saat ini pihak UI belum merencanakan untuk mengirim utusan ke Argentina, karena sesuai pesan Dubes RI di Cile, dr Sukarno, saat ini di lokasi kejadian sedang terjadi badai salju berkepanjangan.Lebih jauh, Harun Gunawan juga mengatakan bahwa pihak UI tidak akan mengubah sikap dalam pemberian ijin terhadap kegiatan-kegiatan Mapala UI.

Menurutnya, musibah yang telah dialami Mapala UI bukanlah baru sekali terjadi, dan kejadian itu semata kendala alam. "Kalau ada kecelakaan lalu lintas, bukan berarti lalu orang dilarang naik mobil kan ?" katanya memberikan kiasan. (sur/arb)

Norman Edwin Ditemukan Sudah Meninggal,KOMPAS - Sabtu, 04 Apr 1992

Norman Edwin, anggota Tim Ekspedisi Pendakian Puncak Aconcagua Universitas Indonesia, sudah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia di ketinggian 6.600 meter Gunung Aconcagua, Argentina. Berita itu diterima oleh Defensa Sipil Mendoza, dari tim pendaki gunung lainnya, melalui radio komunikasi tanggal 2 April 1992, sekitar pukul 13.15 waktu Argentina, atau hari Jumat (3/4) sekitar pukul 00.15 WIB tengah malam.

Tim pendaki gunung yang mengirimkan berita itu, secara kebetulan menemukan jenazah Norman Edwin Dr Jose Ignalio Ortogela, Direktur Defensa Sipil Mendoza, menyampaikan berita itu kepada KBRI di Buenos Aires, Argentina.KBRI di Santiago, Chile, mendapatkan berita itu dari KBRI Buenos Aires. KBRI Chile maupun KBRI Argentina sama-sama mengirimkan berita itu ke tanah air.

"Saya mendapatkan kabar ditemukan jenzah Norman dari Buenos Aires. Beritanya, ada pendaki lain yang tidak diketahui kebangsaannya menemukan jenazah Norman Edwin di ketinggian 6.600 meter. Hanya itu beritanya. Dan, belum bisa dikonfirmasi secara rinci," kata Duta Besar Indonesia untuk Chile, Dr Sukarno Hardjosudarno, melalui telepon, Jumat malam (3/4), sekitar pukul 21.00 WIB."Ketika saya ke Puente de Vacas, Komandan Tim SAR Argentina tidak menyebutkan kalau masih ada pendaki lainnya yang masih di puncak, karena memang waktu pendakian sudah ditutup tanggal 15 Maret," ungkap Sukarno menambahkan.

KBRI di Buenos Aires setelah mendapatkan kabar itu juga mengutus seorang staf ke Mendoza. "Saya pagi ini segera berangkat ke Mendoza untuk mengurus segala sesuatu yang diperlukan," kata Medy Djufrie, Sekretaris II, KBRI di Buenos Aires, ketika dihubungi hari Jakarta Jumat (3/4) malam, melalui telepon.
Sukarno juga sudah meminta Rudi Nurcahyo, anggota tim ekspedisi yang masih berada di Santiago segera menuju Puente de Vacas atau Puente del Inca untuk melihat pelaksanaan evakuasi jenazah Didiek Samsu yang menurut rencana akan dilaksanakan hari Minggu (5/4) waktu Argentina.

Jenazah Didiek

Didiek Samsu, anggota tim lainnya, lebih dahulu diketahui meninggal tanggal 24 Maret. Jenazah Didiek ditemukan di ketinggian 6.400 meter di Refugio Independenzia. Jenazah Didiek berada di dalam sleeping bag. Salju menutupi separuh tubuhnya mulai dari bagian ujung kaki dan sebagian tubuh dekat wajah. Di dekat jenazah ditemukan kapak es dan termos air yang sudah rusak tutupnya.
Carlos Tejerina, pendaki amatir yang menemukan jenazah Didiek, juga menemukan beberapa barang, antara lain tujuh rol film, kompas, altimeter, gaiter dan beberapa tabung gas, di Refugio Berlin (6.000 meter).

Carlos juga menemukan jejak menuju jalur Plaza Argentina melalui Gletzer Polacos, yang diperkirakan adalah jejak Norman.Karena itu, pencarian Norman, yang dilakukan oleh Tim SAR Argentina diarahkan di kawasan Plaza Argentina (4.200 meter).Tanggal 26 Maret, pencarian dihentikan karena kawasan dari Plaza Argentina sampai tepi Gletzer Polacos sudah disapu tanpa menemukan tanda-tanda di mana Norman berada.
Menurut rencana evakuasi jenazah Didiek baru bisa dilakukan tanggal hari Minggu, tanggal 5 April sambil mencari Norman di jalur pendakian normal. Diperkirakan jenazah Didiek baru tiba di Plaza de Mulas (4.230 meter) hari Sabtu tanggal 11 April. Itupun dengan syarat cuaca memungkinkan melakukan evakuasi.

Posko Mapala UI memutuskan akan mengutus Sugihono Sutedjo, anggota Tim Pendakian Puncak Tujuh Benua UI, ke lokasi di Puente del Inca untuk membantu Rudi dan KBRI Argentina, KBRI Chile, koordinasi evakuasi jenazah Didiek dan Norman. Soegihono akan berangkat hari Minggu (5/4). (sur)

Musibah Aconcagua, EVAKUASI JENAZAH DIDIEK DIUNDUR HARI MINGGU, KOMPAS - Jumat, 03 Apr 1992

Evakuasi jenazah Didiek Samsu, yang meninggal dalam ekspedisi pendakian Gunung Aconcagua di Argentina, diundurkan hinggga hari Minggu (5/4), dengan syarat cuaca di lokasi cerah.
Rencana evakuasi yang semula direncanakan dimulai hari Jumat (3/4)ini (Kompas, 31/3), diundurkan karena Tim SAR yang ada masih menunggu kedatangan tim SAR profesional dari San Juan tanggal 4 April. Demikian berita yang diterima Kompas dari Koordinator Posko Mapala UI, Arianto T, hari Kamis (2/3).
Posko Mapala UI menerima berita itu dari Dubes RI di Cile dan Rudi Nurcahyo, anggota tim ekspedisi pendakian Aconcagua yang masih berada di Cile.Jenazah Didiek ditemukan terbujur di dalam kantong tidur di Refugio Independenzia, ketinggian 6.400 meter, tanggal 23 Maret 1992. Waktu itu, salju separuh sebagian tubuhnya dari bagian kaki dan sekitar mukanya.

Di dekatnya ditemukan kapak es dan termos air.Letnan Kolonel Juan Antonio Tora, Komandan SAR Argentina menjadwalkan tim evakuasi akan berangkat hari Minggu (5/4) dari Puente de Vacas. Diperkirakan tim tiba di Plaza de Mulas (4.230 meter) hari Senin (6/4), untuk aklimatisasi.

Hari Selasa (7/4) tim naik ke Nido Condores, bermalam di situ. Hari Rabu (8/4) tim menuju ke Refugio Berlin (6.000 meter). Baru hari Kamis (9/4), tim evakuasi menuju Refugio Independenzia (6.400 meter) mengambil jenazah untuk dibawa ke Refugio Berlin. Hari Jumat (10/4), jenazah baru diturunkan dari Berlin ke Plaza de Mulas. Hari Sabtu (11/4) jenazah tiba Plaza de Mulas dan langsung dibawa ke Puente del Inca.
Dari sana dengan mobil diangkut menuju poliklinik Uspalleta, 60 kilometer dari Plaza de Mulas, untuk pemeriksaan visum et repetum. Selanjutnya, jenazah di bawa ke Mendoza untuk dibalsem dan dimasukkan ke dalam peti.

Pencarian Norman

Menurut keterangan Letkol Juan Antonio Tora, sangat kecil kemungkinan Norman Edwin masih Hidup. Tim SAR yang dipimpinnya sudah menelusuri rute pendakian Puente de Vacas-Plaza Argentina-kaki Gletzer Polacos, yang jalur yang diperkirakan diambil Norman, tidak menemukan Norman.
Letkol Tora memperkirakan Norman Edwin terperosok ke dalam crevasse, celah-celah es, yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter dan selalu berubah-ubah tempatnya. Celah-celah itu pada musim panas mudah terlihat, sedangkan di musim dingin atasnya tetutup salju.

Tim SAR sendiri belum menyelusuri daerah itu karena sangat berbahaya, tetapi berjanji akan meneruskan pencarian Norman apabila situasi mengizinkan.Kontak berita terakhir mengenai Norman dan Didiek, yang berangkat menuju puncak tanggal 12 Maret, dari pendaki negara lain yang berpapasan di Refugio Independenzia. Waktu itu, tanggal 19 Maret, Norman mendapat gangguan pada tangannya dan Didiek mengalami gangguan penglihatan.Seharusnya Norman dan Didiek sudah kembali ke Plaza de Mulas tanggal 20 Maret.
Karena sampai tanggal itu belum juga kembali, Carlos, pendaki lokal yang berpengalaman dan memiliki lisensi SAR, dengan beberapa kawannya menuju ke atas dan menemukan jenazah Didiek sudah terbujur kaku, tanggal 23 Maret.Pencarian Norman selanjutnya dilakukan oleh enam anggota SAR Argentina pimpiman Letkol Juan Antonio Taro.

Tetapi, tanggal 26 Maret karena badai dan di Plaza Argentina, lokasi sasaran SAR, tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan Norman, pencarian dihentikan sementara. Tim SAR Argentina Gendarmarie kemudian mengadakan koordinasi kembali yang juga dihadiri oleh Medy Ch. Djufrie, wakil dari KBRI Argentina.
Kalau memang pencarian Norman akan dilanjutkan, menurut perkiraan baru pada bulan November, karena musim mendaki memang antara awal November sampai 15 Maret. Saat itu juga sudah musim panas, jadi salju sudah mencair. (sur)

EVAKUASI TERHAMBAT, KOMPAS - Jumat, 10 Apr 1992

Usaha evakuasi jenazah Didiek Samsu dan Norman Edwin, dua pendaki anggota tim ekspedisi ke Puncak Aconcagua, Argentina, terhambat oleh tebalnya salju di lereng Aconcagua. "Tanggal 8 April (waktu Chile, Red) Tim SAR sudah sampai ke ketinggian 5.200 meter.
Ternyata di sana salju tebalnya mencapai 60 sampai 70 centimeter. Terpaksa turun lagi ke Plaza de Mulas," kata Duta Besar Indonesia untuk Chile, dr Sukarno Hardjosudarno ketika dihubungi melalui telepon hari Kamis malam (9/4) waktu Jakarta atau siang hari waktu Chile.Tanggal 9 April, waktu Argentina, Tim SAR merencanakan kembali naik menuju Refugio Berlin (6.000 meter).

Seandainya cuaca baik, Tim SAR tiba di Berlin tanggal 10 April. Hari itu juga Tim SAR menuju ke lokasi jenazah Didiek Samsu di Refugio Independenzia (6.400 meter) untuk melakukan evakuasi jenazah Didiek Samsu dan Norman Edwin (di ketinggian 6.700 meter) dan segera kembali ke Berlin.Jika semua berjalan lancar, tanggal 11 April jenazah sudah tiba di Plaza de Mulas (4.230 meter) dan tanggal 12 April tiba di Puente del Inca untuk divisum di Uspallata.
Tetapi, "Ramalan cuaca hari ini (tanggal 9 April siang waktu Chile, Red) memperkirakan akan turun lagi hujan salju. Kalau benar berarti Tim SAR tidak bisa menuju lokasi," kata Sukarno memperkirakan.Berarti dua pendaki Tim Ekspedisi Puncak Tujuh Benua Mapala UI itu, yang bisa dibilang pendaki terbaik Indonesia saat ini, sampai hari ini sudah 30 hari berada di kawasan Puncak Aconcagua.

Norman dan Didiek berangkat melakukan pendakian ulang tanggal 11 Maret 1992 bulan lalu. Tanggal 24 Maret Didiek Samsu ditemukan sudah meninggal di ketinggian 6.400 meter. Kemudian tanggal 2 April Norman Edwin ditemukan oleh rombongan pendaki asing lainnya sudah meninggal di lereng es dengan kemiringan 40 derajat di ketinggian 6.700 meter.
Badan Pengurus Mapala UI dan anggota Mapala UI lainnya, hari Sabtu (11/4), pukul 19.30, akan mengadakan doa tahlilan bagi kedua rekan mereka di Masjid Arif Rachman Hakim Kampus UI Salemba. (tom/sur)

PLAKAT ITU AKHIRNYA TERPASANG JUGA,KOMPAS - Selasa, 26 Jan 1993

UDARA di Cementario (pemakaman) Puente Del Inca, Mendoza, Argentina, pagi itu terasa sejuk. Di tengah makam di kaki Gunung Aconcagua itu terlihat sebuah batu karang yang tertutup bendera Merah Putih.
Semen di sekitar batu karang itu terlihat masih basah.Satu regu barisan kehormatan militer Ejercito Compania de Casadores Alta Montana B (pasukan ranger pegunungan tinggi) Puente del Inca, Argentina tampak mengelilingi batu karang itu dalam formasi huruf V terbalik.

Di depan formasi, berdiri tegak inspektur upacara, Abdullatif Taman, Duta Besar RI untuk Argentina. Dalam sambutannya ia mengatakan, "Misi pendakian Aconcagua bagi generasi muda Indonesiaa telah selesai dengan berhasilnya tim Mapala UI mencapai puncak.
Dan kini kami melengkapinya dengan memasang plakat peringatan meninggalnya saudara kami Norman Edwin dan Didiek Samsu. Semoga jasa-jasa mereka diterima di sisiNya."Kemudian, Dubes RI untuk Argentina beserta rekannya Dubes RI untuk Chile, Soekarno Hardjosudarno, melangkah bersama ke arah batu karang tertutup bendera Merah Putih.
Begitu sungkup Dwiwarna itu terbuka, terpampang plakat baja putih yang bertulisan:"In memoriam Didiek Samsu Wahyu Triachdi...Norman Edwin...On Aconcagua Expedition...Mapala University of Indonesia, March, 1992"
***

UPACARA khidmat pemasangan plakat baja itu memang tidak sampai satu jam. Namun, untuk bisa memasangnya perlu waktu enam belas hari. Enam belas hari? Ya, dua hari untuk persiapan upacara, sedangkan sisanya adalah waktu pendakian Gunung Aconcagua.
Syarat utama agar plakat itu terpasang adalah bendera Merah Putih bisa berkibar di Puncak Aconcagua.Syarat itu memang dibuat untuk memacu diri dalam mendaki Aconcagua. Bagaimana mungkin plakat dapat terpasang sebelum pengorbanan kedua saudara kami dapat tertebus? Pikiran serupa juga terlontar dari rekan-rekan almarhum di Jakarta, saat kami berdiskusi sebelum berangkat melakukan pendakian.

Jadi, tugas kami sebenarnya sederhana. Hanya melakukan pemasangan plakat peringatan di pemakaman Puenta del Inca. Namun syaratnya yang berat, mencapai puncak Aconcagua terlebih dahulu.Kami beruntung sebelumnya telah ikut mengevaluasi kejadian musibah yang menimpa kedua rekan kami.
Paling tidak sebab-sebab utama terjadinya musibah telah diketahui, dan bisa dihindari. Mengenai cuaca buruk umpamanya, kami berupaya menghindarinya dengan berangkat di awal musim pendakian pada tanggal 24 Desember 1992.

Tetapi, tetap saja alam Aconcagua tidak bisa diduga. Tanggal 6 Januari 1993 terjadi badai. Padahal malam sebelumnya laporan cuaca dari radio Chile melaporkan cuaca cerah selama empat hari. Kami yang saat itu berada di Plaza Canada (4.900 m) dalam upaya aklimatisasi (penyesuaian tubuh pada ketinggian) terpaksa turun kembali. Angin dengan kencangnya menggoyang tenda. Tenda yang berbentuk kubah itu sampai hampir rata dengan tanah ditekan oleh angin. Kami tentu tak mau seharian memegangi tenda.
***

DI kemah induk Plaza de Mulas pun kondisinya sama. Sepanjang hari cuaca buruk menghantui. Hari itu, di tengah musim panas, salju turun dengan derasnya. Orang-orang Argentina sendiri heran dengan kejadian ini. Salju putih setebal lebih dari dua puluh centimeter mengalasi kemah induk.
Paling kasihan adalah bagal-bagal pengangkut beban. Dalam hawa dingin yang menggigilkan itu mereka masih mendaki ke kemah induk.Hal lain yang mencemaskan di Aconcagua adalah soal aklimatisasi. Tiap pendaki yang pernah mencapai puncaknya selalu mengingatkan. "Rute normal di gunung Aconcagua itu sangat jelas. Itulah sebabnya banyak pendaki yang terlalu cepat mendaki dan melupakan aklimatisasi. Kesabaran sangat berperan di sini," kata Robert Eckhart, rekan pendaki Belanda yang kami temui di Amsterdam.

Nasehat itu kami ingat. Sejak di Puente del Inca di ketinggian 2.700 meter, aklimatisasi kami lakukan dengan rajin. Kami mendaki beberapa puncak kecil setinggi 4.000 meter lebih untuk pemanasan. Bertahap kemudian kami bermalam di ketinggian 3.300 meter di Confluensia sebelum menginjak kemah induk Plaza de Mulas di 4.700 meter.Setiba di Plaza de Mulas upaya aklimatisasi ini makin jadi perhatian. Maklum selama tiga hari di sana, tiap hari selalu saja ada orang sakit turun karena badannya tidak mampu menyesuaikan diri dengan ketinggian.

Keluhannya mulai yang hanya sakit kepala ringan, hingga yang dipapah karena menderita radang paru-paru.Pada hari kedua hati lebih ciut lagi. Terdengar kabar bahwa ada satu orang Yunani tewas di Refugio Berlin (5.800 m) dan tiga orang lainnya tidak sadar. Korban ditemukan dalam keadaan "mati putih" (meninggal dalam keadaan tidur kekurangan oksigen).Hari ketiga kami mulai naik ke Plaza Canada di ketinggian 4.800 meter dan tidak merasakan perubahan yang berarti.

Bahkan untuk meyakinkan diri kami melakukan joging di Plaza de Mulas. Detak jantung pun normal.Hari ke tujuh kami sudah berada di Nido de Conderes pada ketinggian 5.300 meter. Pada saat itu badan sama sekali tidak merasakan perubahan yang berarti.
Karena tidak merasakan perubahan yang berarti kamai terlalu terburu-buru memutuskan untuk mencapai puncak. Semangat untuk menebus pengorbanan Norman dan Didiek terlampau besar. Esok dari Nido de Condores (5.800 m) kami akan melakukan summit attack ke ketinggian 6.959 m.
***

MATAHARI belum keluar, pukul 7.00 kami sudah jalan. Angin Pasifik dan dinginnya udara menembus jari-jari tangan yang terbungkus sarung tangan wol. Ujung-ujung jari mulai mati rasa. "Ayo jalan terus!" kami berdua saling mengingatkan bila ada yang berhenti untuk menghindarkan dingin.Dengan bergerak terus tubuh jadi hangat, dan matahari mulai menampakkan sinarnya dari balik gunung juga bisa menghangatkan.
Jalan ke arah Refugio Independencia (6.400 m) pun mulai tampak.Saat itu terasa kecepatan kami sudah mulai jauh berkurang. Sehingga target tengah hari dapat mencapai Refugio Independencia tidak terpenuhi. Pada pukul 13.30 baru kami mencapai Independencia. Tempat di mana jenazah almarhum Didiek Samsu ditemukan berangin sangat kencang.

Kami sempat bertanya dalam hati, mengapa ia memilih tempat berlindung yang berangin seperti ini. Pertanyaan itu tak sempat terjawab karena kami harus memburu waktu untuk ke puncak.Namun serentak dengan itu serangan tipisnya udara sudah mulai tampak. Dalam melangkah terkadang untuk bisa selangkah ke depan harus disertai satu tarikan napas dalam. Kesadaran sudah mulai berkurang.

Keseimbangan pun terganggu.Saat melewati jalur salju ke arah sebuah punggungan bukit, hilangnya keseimbangan ini benar-benar terbukti. Jalur yang tak begitu curam itu serasa begitu terjal bagi kami. Kami melangkah dengan begitu hati-hati sekali. Akibatnya hampir satu jam waktu terbuang percuma di jalur itu.Keadaan makin parah menjelang traverse (menyeberang) ke Canaleta, bagian terakhir menjelang puncak.

Kami berjalan di tempat datar, namun serasa gamang sekali. Hingga terpaksa kami memakai crampoon (cakar es) untuk meyakinkan diri agar tidak terjatuh. Keputusan memakai Crampoon ini membuang waktu hampir setengah jam. Dalam keadaan biasa, crampoon bisa terpasang tak sampai lima menit. Namun kali ini dengan kesadaran makin berkurang, setengah mati rasanya memasang crampoon.Akhirnya pukul lima sore kami tiba di kaki Canaleta.

Dengan pandangan tak pasti kami tatap ke atas. Medan dengan kemiringan lebih dari tempat puluh lima derajat, dipenuhi oleh longsoran salju dan batu setinggi tiga ratus meter terhampar di depan mata.Rasanya dengan kondisi tubuh melemah setelah beraktifitas lebih dari sepuluh jam di ketinggian lebih dari 6.000 m, melewati Canaleta adalah hal yang sangat riskan. Kami sepakat untuk turun, walaupun waktu musim panas di Aconcagua menyisakan terang hingga pukul sembilan malam.

Pelajaran hari itu sangat mahal. Kami rupanya harus bersabar dengan menambah ketinggian di Refugio Berlin. Dan kondisi badan pada ketinggian rasanya makin hari makin baik. Pada hari summit attack ke dua kami benar-benar lebih siap.Kami berangkat lebih pagi. Tak sampai empat jam kami sudah di Independencia. Ada dua orang Chile yang mendaki terlebih dahulu berhasil kami susul. Selebihnya kami berkutat di Canaleta selama empat jam.

Akhirnya pukul 14.20 Ripto Mulyono berhasil mengibarkan Merah Putih pertama kali di Aconcagua. Syarat pemasangan plakat peringatan Norman Edwin dan Didiek Samsu terpenuhi sudah.(Ripto Mulyono/Tantyo Bangun, keduanya anggota Tim Mapala UI yang berhasil mencapai Puncak Aconcagua)

Menolong korban Aconcagua - Mengapa tidak menggunakan helikopter ?

Mon, 18 Apr 2005 18:28:09 -0700 Didiek Samsu dan Norman Edwin, pendaki gunung Indonesia, mendapat musibah dan meninggal di Puncak Aconcagua. Sulit dan lama proses membawanya turun. Mengapa harus menggunakan kereta salju atau seekor bagal ? Mengapa tidak diangkat saja dengan helikopter ?
Dua pendaki Indonesia itu ditemukan meninggal di puncak Gunung Aconcagua, Argentina, Amerika Selatan, pada ketinggian dan waktu yang berbeda. Didiek Samsu ditemukan 23 Maret pada ketinggian 6.400 m dan Norman Edwin ditemukan 2 April di ketinggian 6.600 m. Beda 200 m di ketinggian hampir 22.000 kaki. Pada ketingian 22.000 kaki itu, tebing dan lereng Aconcagua yang terjal sudah banyak diselimuti salju. Tebal salju mencapai 50-60 cm.Di tempat itulah dua pendaki Mapala UI yang sebelumnya dinyatakan hilang, ditemukan tewas oleh tim SAR Argentina, Patrulla Socorro.

Mencari hilangnya kedua pendaki Indonesia itu sebelumnya menjadi pokok persoalan. Patrulla Socorro berhasil menemukan korban, meskipun harus agak lama. Memang bukan mudah mencari di antara tebing dan jurang bersalju itu. Dan setelah itu persoalan baru timbul. Bagaimana membawa kedua jenazah itu turun?
Semula, banyak orang mengira bahwa untuk membawa turun jasad Didiek dan Norman, bukan soal lagi. Apalagi di zaman modern saat ini.Terbangkan helikopter ke sana, mendarat atau hovering di tempat kejadian, masukkan korban ke kabin dan terbang lagi ke bawah. Selesai. Itu perkiraan.
Tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Karena ternyata helikopter memiliki kemampuan terbatas dan tidak mampu terbang kepuncak Gunung Aconcagua. Ada dua sebab utamanya, kemampuan helikopternya dan kemampuan awak pesawatnya.

Mengapa sulit ? Keadaan udara pada ketinggian 6.600 m atau hampir 22.000 kaki dihitung dari permukaan laut, entah itu di puncak gunung atau di awang-awang,bukanlah keadaan yang menguntungkan bagi manusia maupun helikopter. Manusia, siapa saja, akan terpengaruh. Pada ketinggian 22.000 kaki itu keadaan tekanan udara sudah menjadi kurang dari separo tekanan di permukaan laut, menjadi 335 mmHg. Kadar oksigennya sudah sangat tipis, persentasenya sangat kecil dibandingkan kadar oksigen di darat.
Suhunya ? Sudah sangat dingin, 24,6 derajat Celcius di bawah nol, atau minus (-) 24,6 derajat. Tekanan parsiel gas oksigen tinggal 80 mmHg atau setengah tekanan oksigen di darat. Tekanan di permukaan laut 760 mmHg dan tekanan parsiel O2-nya 160 mmHg dengan berat udara 14,7 pon per square inch (PSI). Pada keadaan itu, orang tidak akan tahan tanpa bantuan alat, seperti selimut/baju tebal atau masker oksigen untuk membantu pernafasan.

Dan situasi udara setengah atmosfir ketinggian 18.000 – 20.000 kaki itu dijadikan standar untuk menguji penerbang maupun calon penerbang, karena situasi udara di tempat itu sama dengan setengah atmosfir. Tekanan parsiel gas oksigen tinggal 80 mmHg atau setengahnya tekanan oksigen didarat.
Dalam ujian kemampuan calon penerbang di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) ‘dr. Saryanto’, para calon dimasukkan ke dalam altitude chamber. Mereka duduk berderet dan diberi persoalan. Soal hitungan itu bentuknya sangat sederhana dan sangat mudah seperti 2+2, 3+2, 4+3 dan sejenisnya. Setelah mereka siap, kemudian ruang dibuat sama dengan kondisi pada ketingian 18.000 kaki.Semua calon mulai mengerjakan soal yang ada di tangannya. Tidak lebih dari 20 menit. Apa yang terjadi? Pengaruh ketinggian mulai nampak. Sebagian besar mereka tidak mampu mengerjakan dengan benar soal hitungan kelas 1 SD permulaan itu. Malah ada yang linglung, dipanggil diam saja. Mereka sudah tidak mampu menguasai diri. Itulah tanda-tanda ia terkena hipoksia, kekurangan gas oksigen. Secepatnya petugas ruang (yang selalu mengenakan masker oksigen), membantu calon tersebut menggunakan masker oksigen yang tersedia didepannya, sebelum calon penerbang itu jatuh pingsan.

Keadaan seperti itu pun terjadi di puncak gunung, seperti Aconcagua yang tingginya lebih 18.000 kaki. Karena itulah maka pendaki gunung pun harus melakukan uji kemampuan dalam altitude chamber seperti para calon penerbang. Sama halnya dengan orang terbang di awang-awang terbuka, maka menuju ketinggian dengan cara mendaki gunung, akan terkena pengaruh ketinggian. Bedanya, bila dengan pesawat terbang, reaksi pengaruh berlangsung cepat karena pencapaian ketinggian dapat dilakukan dengan cepat.
Bagi pendaki gunung, untuk mencapai ketinggian seperti Aconcagua itu ditempuh dalam beberapa hari, sehingga selama perjalanan, penyesuaian dengan keadaan lingkungan berlangsung. Namun, apa pun cara mencapai ketinggian itu, daerah di ketinggian di atas 18.000 kaki bukanlah tempat hidup manusia. Karena di sana atmosfir memiliki keadaan yang tidak lengkap, kurang dari separo keadaan di darat tempat habitat manusia.

Rendahnya tekanan parsiel gas oksigen menyebabkan tekanan parsiel dalam paru-paru juga menjadi rendah, akibatnya orang akan kekurangan oksigen, hypoxia. Seseorang yang berada pada situasi yang tekanan parsiel gas O2-nya turun 25 persen saja, akan terkena pengaruh menurunnya kecerdasaan berfikir. Karena itulah, maka suatu penerjunan bebas yang tanpa menggunakan masker oksigen, hanya boleh dilakukan dari ketinggian terbang maksimum 10.000 kaki, batas toleransi manusia pada ketinggian.Cepat lambatnya seseorang terpengaruh hipoksia, tergantung pada kondisi tubuh, umur, latihan, aktifitas tubuh, kepekaan seseorang serta pengalaman terhadap pengaruh hipoksia (lihat tabel).

Semakin tinggi, orang lebih cepat terkena pengaruh hipoksia. Pada ketinggian 50.00 kaki atau 15.240 m dengan suhu (-) 56,5 derajat Celcius dan tekanan parsiel oksigen yang tinggal 20 mmHg, maka orang hanya bisa bertahan tidak lebih 10 detik saja. Mengapa heli tidak bisa ? Suatu proses pertolongan korban kecelakaan pesawat terbang di gunung yang tingginya 5.000 kaki, terkadang mengalami kesulitan. Bukan helikopternya yang tidak mampu, tetapi justru keadaan cuaca yang seringkali tidak mendukung. Helikopter terbang pada ketinggian 5.000 kaki masih bisa dilakukan. Tetapi terbang pada 22.000 kaki seperti di Gunung Aconcagua, adalah persoalan. Helikopter bisa terbang karena timbulnya gaya angkat pada baling-baling rotor yang berputar. Karena itulah maka helikopter disebut juga rotary wing. Dan untuk mampu mengangkat helikopter beserta isi kabinnya, diperlukan tenaga gaya angkat yang besar.

Di daerah rendah, gaya angkat mudah terjadi, karena udara yang padat. Dengan gaya angkat yang besar itu, maka helikopter mampu malakukan hovering, melayang di tempat, untuk melakukan pertolongan beberapa menit. Untuk hovering diperlukan gaya angkat yang lebih besar dari pada gaya yang diperlukan untuk terbang biasa. Di ketinggian 22.000 kaki, helikopter tidak akan mendapatkan gaya angkat yang diperlukan, karena renggangnya udara.

Apalagi untuk hovering yang mesti dilakukan sebuah helikopter di saat akan take-off, waktu mendarat atau sedang menolong korban di daerah yang sulit. Karena tidak selalu bisa mendarat, maka digunakan cara hoist, menurunkan dan menaikkan penolong serta korban melalui kabel baja penarik yang dipasang di sisi kiri/kanan helikopter. Dengan cara ini mengharuskan helikopter melakukan hovering.
Masalah lain adalah awak pesawat dan tim penolongnya. Mereka tidak akan mampu berlama-lama di ketinggian 22.000 kaki tanpa bantuan oksigen. Mereka juga harus menjaga diri agar tidak hipoksia. Sulit memang. Itulah sebab mengapa helikopter tidak digunakan dalam pertolongan di Gunung Aconcagua. Tingginya tempat, kencangnya angin di puncak, sampai 240 km/jam dan badai salju, membahayakan siapa saja yang ada di sana termasuk helikopter. Karena itu, mereka memilih menggunakan kereta salju dan bagal. (soe)

Norman Edwin 1955 - 1992

Norman Edwin sosok pecinta olahraga petualang yg pernah ada di Indonesia, di kenal sebagai pribadi yg pemberani dan suka menolong oleh keluarga dan teman2nya sesama jurnalist Kompas, tempat terakhirnya bekerja.
Norman tewas di usia 37 tahun bersama rekan satu teamnya Didiek Samsu Wahyu Triachdi saat pendakian Puncak Aconcagua (6969m), pegunungan yang membentang sepanjang perbatasan Chile - Argentina, saat itu ia tergabung dalam Seven Summit Expedition 1992 - Mapala UI. Didiek juga tercatat sebagai wartawan di Majalah Jakarta Jakarta.

Indonesia berduka, musibah menimpa Expedisi Seven Summit pada pertengahan April 1992 merenggut dua orang pendaki terbaiknya, Norman Edwin dan Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Media nasional dan international banyak meliput kejadian tewasnya dua pendaki ini. Norman saat itu memimpin Team
Pecinta Alam Universitas Indonesia yang tergabung di Mapala UI dalam upayanya mendaki Puncak Aconcagua 6959-mtr Chile. Gunung yg disebut juga 'The Devil's Mountain' karena faktor cuacanya tak bisa diprediksikan, sering kali badai salju melanda pegunungan selama berhari hari. Puncaknya dijadikan tujuan karena menjadi salah satu Puncak Tertinggi dalam Expedisi Tujuh Puncak Dunia Mapala UI.
Berbekal pengetahuan dalam Penelusuran gua, Pendakian Gunung, Pelayaran, Arung Jeram serta sejumlah pengalaman Rescue di Irian Jaya, Kalimantan, Africa, Canada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan kekuatan phisik pada dirinya yang telah bergabung di Mapala UI sejak tahun 1977. Sampai akhirnya terpilih menjadi Leader dalam Expedisi ini bersama Didiek, Rudy "Becak" Nurcahyo, Mohamad Fayez and Dian Hapsari, satu2nya wanita dalam team tersebut.
Sebetulnya banyak meragukan kemampuan Norman, jauh hari sebelum Expedisi ini di mulai, namun pengalamannya selama 15 tahun dalam berpetualang serta menghadapi berbagai bahaya, diyakini membuatnya tetap berangkat. Saat expedisi berlangsung, badai salju menghantam Team ini dan akhirnya merenggut duet pendaki ini.

Jenazah Didiek adalah yang pertama ditemukan pada tanggal 23 Maret atas laporan beberapa pendaki negara lain yang kebetulan melihat mereka berdua terakhir di ketinggian 6400m, beberapa ratus meter lagi sebelum Puncak.
Dilaporkan pula saat itu, kondisi keduanya terlihat sangat kritis, beberapa jari Norman terkena Frosbite (Mati Beku karna Dingin) dan Didiek menderita Snow Blindness (Buta Salju) akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan, memantul di hamparan salju dataran tinggi. Kemungkinan hal ini sangat mendekati karena Google (Kacamata Salju) yang dipakai Didiek rusak berat. Jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan langsung diterbangkan ke Jakarta pada tanggal 21 April 1992.

Spekulasi merebak melalui media massa bahwa kegagalan mereka juga diakibatkan karena minimnya pelaralatan yang dibawa. Aconcagua terpilih setelah Mapala UI merencanakan Expedisi Tujuh Puncak Dunia lainnya yaitu Cartenz Pyramid (4,884 meters) di Irian Jaya; McKinley (6,194 meters) di Alaska, Amerika Serikat; Kilimanjaro (5,894 meters) in Tanzania, Afrika; dan Elbrus (5,633 meters) di Uni Soviet, (sekarang Rusia).

Setahun kemudian setelah tragedi ini, Mapala UI yang status keanggotaannya berlaku seumur hidup ini, mencoba mengirim kembali dua anggota lainnya yaitu Tantyo Bangun dan Ripto Mulyono untuk menyelesaikan pendakian sekelas Expedisi Aconcagua ke Vinson Massif (4,887 meters) di Kutub Selatan. Dan satu lagi Puncak Everest di Himalaya dengan nama Team Expedisi Universitas Indonesia, namun sayang kegagalan juga menimpa team ini.

Dua kegagalan rupanya tidak menyurutkan semangat Mapala UI, karna puncak terakhirnya tetap dijadikan target bagi Expedisi Gabungan selanjutnya yang terdiri dari Mapala UI, Koppassus dan Wanadri. 'Kami berusaha melakukan pendakian gabungan ke Everest tahun 1997 dan sukses, dua anggota team dari prajurit Koppassus yaitu Asmujiono dan Misirin berhasil mencapai Puncak Everest.' ujar Rudy "Becak" Nurcahyo anggota Indonesian National Team to Everest yang juga kehilangan jarinya karna Frosbite di Expedisi Aconcagua.

'Kami mencoba yang tebaik untuk mewujudkan itu semua.. dan saya percaya Norman dan Didiek pun akan tersenyum disana melihat keberhasilan Team Everest ini. walaupaun setelah tahun 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi kemudian masa reformasi yang tak lama berselang. Keadaan ini otomatis ini menghambat Expedisi-expedisi selanjutnya yang telah direncanakan.. tambahnya.

Bagi istri Norman, Karina serta Melati putrinya, sosok hangat dan eksentrik Norman akan tetap menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Semasa hidup, Melati selalu diajak serta dalam kegiatan alam bebas yang digeluti ayahnya itu, termasuk perjalanan ke Irian Jaya saat ia masih kecil.
'Norman menjadi seorang petualang sejati dan sedikit bandingannya diantara pendaki-pendaki yang ada sekitar tahun 1970-80, dan Didiek adalah teman dekatnya. Ia tunjukkan rasa hormatnya kepada wanita dan yakin bahwa wanita dapat mengerjakan sesuatu yang lebih baik daripada pria, apalagi menyangkut faktor keselamatan, contohnya Penulusan Gua' papar Karina yang dulu juga aktif dalam kegiatan alam bebas sekembalinya dari Australia dan mengambil kuliah lagi jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia.
'Norman pernah mengatakan, aktivis alam wanita cenderung lebih tenang, tidak mudah panik dan dapat mengatasi situasi darurat jika dibandingkan dengan pria. Bagi saya ia sangat humoris dan mempunyai semangat hidup yang tinggi. Begitu pula yg rasakan Melati, sifat ayahnya ini menurun kepadanya walaupun ia masih berusia remaja. Janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita sendiri, faktor ini adalah yang terpenting jika ingin menekuni olahraga beresiko tinggi' ungkap Karina yang dulu juga ikut dalam team di Expedisi Cartenz Irian Jaya tahun 1981 dan saat ini telah menyelesaikan program Doctoralnya di Australian National University.

Norman dan Didiek telah tiada, namun spiritnya kuat meresap di hati para pecinta olahraga alam bebas Indonesia. Penghargaan patut mereka terima atas keberanian dan semangat pantang menyerah, sehingga dapat dijadikan contoh bagi petualang2 muda lainnya yang masih ada.

So long my friend.. we'll see you up there..

From : TheJakartaPost/(Edith Hartanto)


Ku Cari Ayah di Puncak Carstensz


Hampir 30 tahun sesudah ayahnya meninggal, barulah Harry Rudolph dapat berpamitan dengan sebenarnya. Hanya tidak mudah, dia harus mendaki Pegunungan Carstensz setinggi 4.000 meter di Papua demi ayah yang dicintainya.

Sepuluh hari lamanya, terguyur hujan dan terbenam dalam lumpur hingga lutut, aku bersusah-payah menembus hutan belantara tropis di Niugini. Tujuan akhirku masih tampak jauh dan sulit dicapai. Persediaan makananku sudah berkurang secara memprihatinkan. Akan tetapi, setiap kali aku pertimbangkan untuk membatalkan ekspedisi ini, setiap kali pula aku teringat wajah ayahku, Frans Rudolph, yang seolah-olah memberikan kekuatan baru.

Sekonyong-konyong, 15 orang laki-laki yang telanjang menghalangi jalanku. Mereka adalah orang-orang Papua, yang memakai bulu-bulu burung beraneka warna di rambutnya yang keriting dan bersenjatakan panah serta busur di samping parang yang tampak menakutkan. Aku merasa khawatir dan menyadari, boleh jadi, ini berarti akhir dari petualangan. Aku nekat.

Bagi orang-orang Papua yang gagah berani, mungkin memergoki seorang pengembara di dalam hutan, mengagetkan mereka juga. Perjuangan berhari-hari telah menyebabkan penderitaan yang tidak ringan. Badanku penuh dengan luka-luka berdarah yang ditimbulkan oleh batu karang yang tajam dan dahan pohon. Kaki dan mata sudah bengkak karena gigitan nyamuk dan lintah yang haus darah, serta sengatan yang menyakitkan dari tawon dan kalajengking.

Karena kehabisan tenaga, aku duduk di atas sebuah batu gilang sambil meletakkan kedua telapak tangan di kudukku sebagai tanda bahwa aku tidak bermaksud jahat. Begitulah keadaanku sambil melihat ketakutan. Aku teringat ayah yang memberi dorongan untuk melakukan perjalanan seorang diri, juga memberi kekuatan untuk bertahan menghadapi segala macam ujian.

Pada tanggal 28 Juni 1962, Negeri Belanda masih terlibat konflik bersenjata melawan Indonesia sehubungan dengan klaim terhadap Irian Barat. Pada pagi hari itu, ayahku, seorang flight engineer AU Belanda dan empat orang kru lainnya serta tiga orang penumpang sebuah pesawat C-47 Dakota dengan nomor registrasi X-11, lepas landas dari Merauke. Untuk mencapai tujuannya, Biak, pesawat militer itu harus melewati Pegunungan Carstensz setinggi 5.000 meter.

Alam yang benar-benar tidak bersahabat.Delapan tahun kemudian, beberapa foto udara memperlihatkan, bagaimana di tengah perjalanannya, pesawat itu menabrak dinding gunung dan hancur-lebur. Bayangan bahwa jasad ayahku terlantar di suatu tempat di dataran tinggi gunung karang, bagi kami sekeluarga menimbulkan penderitaan batin yang nyaris tak tertahankan.

Aku baru berumur 12 tahun ketika melihat ayah terakhir kali. Sepanjang ingatanku, dia seorang militer yang tegar, percaya diri dan gagah berani, yang sangat memperhatikan dan menyayangi istri serta empat anaknya. Ia menyediakan waktu sebanyak mungkin dengan keluarganya. Ia suka membawa anak-anaknya jalan-jalan di hutan dan mengajak kami berpartisipasi dalam hobinya yang paling berat, yaitu mengotak-atik mobil. Ia memiliki mobil Peugeot tahun 1947. Kami sering berjam-jam mengotak-atiknya.Selama hampir 30 tahun sejak dinyatakan hilang pada usia 39 tahun, kerinduan kami sekeluarga kepada ayah bertambah kuat, di samping perasaan kecewa atas perlakuan terhadapnya dan anggota kru lainnya.

Dalam tahun 1974, arsip tentang X-11 ditutup karena, menurut para pejabat, adalah mustahil untuk mencapai reruntuhan pesawat dan mengevakuasi jenazah-jenazahnya. Pada waktu itu, mulai timbul niatku untuk mencari sendiri. Setelah begitu lama, begitulah pikiranku, ayahku harus mendapat tempat peristirahatan terakhir yang pantas. Untuk membiayai perjalanannya, aku dan anggota keluarga lainnya mengumpulkan sekitar 50.000 gulden dari kocek sendiri.”Romo Pastur Jos,” aku bertanya di kantornya di kota Leiden, “Orang Papua itu sebetulnya bagaimana?” Muka misionaris mengguratkan senyuman. “Mereka adalah orang-orang yang ramah-tamah, suka membantu dan suka menerima tamu,” begitulah jawabnya.

Romo Pastur Jos Donkers lama hidup di antara orang-orang Papua di hutan belantara Irian Jaya, yang hingga tahun 1962 bernama Niugini Belanda, yang gelap. Akan tetapi, seluruh daerah sulit dilalui. Hujan yang terus-menerus mengguyur tanah rawa, ular, lintah, dan serangga lainnya adalah ancaman yang harus diwaspadai. Anda tidak bisa menemukan apapun yang dapat dimakan.

Adalah niat yang gila untuk pergi ke sana sendirian.Aku mengunjungi Tropen Museum di Amsterdam untuk mempelajari peta-peta Niugini. Bahkan di atas kertas, perjalanannya tampak mengesankan. Sebagai persiapan, aku latihan intensif selama dua minggu di Pulau Jawa. Aku mendaki gunung berapi sampai tidak kurang 25 kali, tidur di udara terbuka, dan melakukan percobaan untuk mengetahui berapa hari dapat bertahan tanpa makan.

Setelah itu, aku menentukan susunan bagasi di atas hamparan plastik, sebuah kantong untuk tidur, beberapa potong pakaian, sebilah parang, sebuah kompas, beberapa helai peta, dua buah velples, sebuah payung dan sebuah video kamera. Persediaan makananku terdiri dari biskuit kering, buah berkulit keras, satu blek bubuk glukosa dan beberapa blik ransum darurat.Begitulah.

Pada 25 Oktober 1989, aku mulai ekspedisi ke Timika, suatu kota kecil di pantai selatan Irian Jaya. Dengan bantuan seorang misionaris yang berdiam di sana, aku dipertemukan dengan seorang Papua yang pernah menjadi anggota suku yang berdiam di pegunungan yang tinggi. Ia menggambarkan rute menuju ke desanya yang dulu secara garis besar. Perjalanannya akan memakan waktu lebih kurang empat hari, berdasar taksirannya. Optimismenya ternyata jauh berbeda dengan kenyataan. Perjalananku memakan waktu jauh lebih lama dan penuh kejadian-kejadian yang menakutkan.

Hujan deras mengguyur pohon-pohon lebat yang tingginya mencapai 50 meter. Untunglah masih terdapat celah terbuka melalui mana dapat kubedakan siang dan malam. Satu-satunya alat yang membantu dan menjadi tumpuan harapan di dalam medan yang sangat tidak bersahabat, yaitu kompasku, seolah-olah menentangku dengan selalu menunjukkan arah ke pohon-pohon tumbang atau rawa-rawa yang dalam.Kerumunan tawon hitam yang ditakuti mengelilingiku.

Dari waktu ke waktu, tawon-tawon itu membuka serangan secara massal. Pakaianku nyaris tidak mampu memberi perlindungan. Tawon-tawon itu dapat menembus hampir semua bagian dari tubuhku untuk sekadar memberi sengatan tajam yang dapat menimbulkan infeksi yang parah.

Di belakang kawanan tawon menyusul pasukan lintah, mahluk-mahluk seperti monster sepanjang hampir 3 cm, yang menggigit kulitku dengan keras dan bahkan dapat masuk lewat lubang-lubang tali sepatuku dan melihat kaki-kakiku berdarah. Ular-ular piton sepanjang hampir tujuh meter disana-sini tampak bermalas-malasan pada sore hari. Ular-ular yang tanpa upaya menyambar dan melilit babi hutan yang lewat, dapat saja sekonyong-konyong berbuat yang sama terhadap pengembara hutan tanpa pertahanan diri seperti aku.

Tinggi di atas kepalaku, burung-burung cendrawasih mengantarkan perjalananku yang berat dengan kicauan-kicauan yang ramai. Pada malam hari, suara mereka yang gaduh ditingkahi oleh menggerisiknya ular, laba-laba, dan kalajengking, yang mengelilingi diriku bak musuh yang tak kasat mata. Aku berusaha untuk tidur sambil mengacuhkan luka-luka dan kaki yang bengkak.Hutan belantara merupakan musuh tanpa ampun. Perjalanan empat hari tamsiran orang di Timika, bergema dibenakku ketika kuinjak hari kesepuluh.

Sebenarnya, dipergokinya diriku oleh 15 orang penduduk bersenjata yang di luar dugaan muncul di depanku, lebih merupakan penyelamatan daripada ancaman. Orang-orang itu ramah-tamah, suka membantu, dan suka menerima tamu. Gambaran yang diberikan Romo Pastur Jos tentang orang Papua kuingat kembali, ketika di depanku orang-orang itu terlibat diskusi yang ramai. Dengan sisa kekuatan yang masih kumiliki, kedua telapak tanganku tetap kuletakkan di kudukku sebagai tanda menyerah. Akhirnya, seorang yang lebih tua mendekat secara hati-hati untuk memeriksa barang bawaanku.

Penasihatku seorang Papua di Timika, telah menitipkan sepucuk surat yang sederhana bagi orang yang dituakan di desa. “Orang baik”, begitulah kira-kira isi surat tersebut karena salah seorang penduduk bersenjata yang lebih tua tampak tersenyum dengan ramah. Yang lainnya mengubah arah acungan senjata dari diriku.Salah seorang penduduk menguasai sedikit bahasa Melayu dan menjadi juru bahasa. Kuceritakan bahwa aku sedang mencari jenazah ayahku yang telah jatuh dengan pesawat di pegunungan Carstensz. Ia meneruskannya kepada pimpinannya, dan kembali kepadaku sambil berkata: “Pemimpin kami bilang bahwa kedatangan Anda disambut baik di desa ini dan bahwa Anda boleh menginap di sini.”

Orang-orang yang suka menerima tamu. Romo Pastur Jos benar. Jarang saya mendapat teman-teman begitu cepat seperti di desa ini. Orang-orang Papua memberikan segala macam perhatian. Dari dalam gubuk-gubuk yang mirip cendawan raksasa dan tersebar di bukit-bukit, mereka memberi senyum penuh persahabatan, setelah pemimpinnya memberitahukan bahwa aku orang baik.

Aku mengalami kejutan ketika foto reruntuhan X-11 yang kuperlihatkan untuk menjelaskan tujuan ekspedisi yang tidak biasa ini, membangkitkan ingatan beberapa penduduk. Pemimpin desa menunjuk ke arah pegunungan yang tampak menjulang ke langit di kejauhan.

Dua hari lamanya aku menjadi tamu orang-orang Papua yang riang gembira. Kekuatanku sudah pulih kembali untuk meneruskan perjalanan. Beberapa penduduk yang ramah-tamah bahkan mengiringi diriku selama beberapa hari.Perlahan-lahan hutan belantara diganti oleh batu-batu karang yang tajam.

Pemandangan di sekelilingku didominasi oleh arakan awan tipis dan panjang yang lewat di atasku dan ditiup oleh angin kencang dingin seperti es. Aku tidak dapat mengandalkan kompas lagi karena adanya endapan lapisan-lapisan logam di pegunungan itu. Aku terpaksa berlindung di bawah batu-batu yang menjorok selama berjam-jam sambil menunggu terangnya kembali penglihatan.

Tujuan akhir dari perjalananku tercapai 16 hari setelah berangkat dari Timika. Tampaknya seperti pemandangan di bulan yang menyeramkan, dikelilingi oleh dinding-dinding gunung raksasa yang menjulang tinggi dan menyeramkan. Di salah satu sisi pada ketinggian 4.100 meter tergeletak ekor Dakota yang berwarna kelabu dan dihiasi tanda kebangsaan AU Kerajaan Belanda merah-putih-biru yang menyala, diapit oleh nomor registrasi X-11. Itulah adegan yang selama bertahun-tahun menghantuiku.Aku berkemah selama dua hari di antara horor sisa-sisa sedih X-11 yang hancur lebur.

Di areal yang luas, kutemukan puing-puing terdiri dari sobekan aluminium yang dulunya merupakan badan pesawat, motor-motor pesawat yang hancur dengan baling-baling yang bengkok, sebuah sepatu, sebuah boneka, dan beberapa buah kaos kaki. Sama sekali tidak ada jasad para kru dan penumpang yang semula ingin kuberikan penghormatan terakhir di dalam kesunyian di pegunungan yang dahsyat ini. Apa yang telah terjadi dengan jasad mereka?

Aku dengar dari para pekerja tambang tembaga, tidak jauh dari reruntuhan pesawat, sekelompok mahasiswa Indonesia tahun 1981 telah mendahuluiku. Mungkin mereka dapat menjawab pertanyaanku.Melalui kawan-kawan Indonesia di Bandung, aku bertemu dengan tiga orang. Mereka menceritakan bahwa proyek pendakian gunung universitasnya menugaskan mereka untuk mendaki pegunungan Carstensz pada 1981, ketika secara kebetulan mereka menemukan reruntuhan pesawat. “Tabrakannya begitu hebat,” kata salah seorang mahasiswa sambil menggigil sehingga reruntuhannya benar-benar tersebar di mana-mana.

Mereka berkemah selama kurang lebih sebulan dan setiap hari melakukan pencarian di sekitarnya. “Kami menemukan sepucuk Uzi, kereta bayi, beberapa potong pakaian dan sebuah buku catatan,” kata si mahasiswa. Buku catatan yang mereka temukan disimpan di universitas, ternyata milik ayahku.Para mahasiswa telah mengumpulkan jasad-jasadnya dengan seksama, dimasukan ke dalam sebuah peti dan dikebumikan dengan khidmat di bawah tumpukkan batu. Aku mendapat sebuah foto dari kuburan itu. Setelah hampir 30 tahun, akhirnya aku mengetahui nasib yang dialami mendiang ayahku.

Dalam bulan Januari 1991, 14 bulan sesudah perjalananku yang penuh bahaya, AU Kerajaan Belanda dibawah tekanan untuk melakukan sesuatu mengenai X-11. Pihaknya mengizinkan ekspedisi yang terdiri dari lima orang untuk mengevakuasi jasad-jasadnya.Aku mendapat izin untuk ikut serta. Kami diangkut dengan helikopter ke lokasi. Setelah mendirikan perkemahan, kami melakukan pemeriksaan yang seksama.

Di bawah tumpukan batu seperti yang diperlihatkan oleh foto para mahasiswa, kami memang menemukan peti berisi jasad-jasad para kru dan penumpang. Bagiku merupakan saat yang sangat mengharukan dan memuaskan. Tugasku telah terlaksana. Ayah akhirnya akan pulang.

Tanggal 19 Februari, jasad-jasad para korban diangkut ke negeri Belanda. Tanggal 22 Maret dimakamkan dengan penghormatan militer di Taman Kehormatan di Loenen. Tinggi di pegunungan Carstensz, kini tinggal sejumlah reruntuhan dan prasasti yang menyebutkan nama para korban. Prasasti dibuat oleh anggota-anggota ekspedisi, yang mengenang bencana 29 tahun sebelumnya.

Harian Kompas tanggal 18 April 1981 memberitakan: “Pendakian Salju Khatulistiwa. Tim Mapala UI menemukan es Jayawijaya menyusut 200 m. Sisa pesawat DC-3 Belanda ditemukan.” Mengenai sisa pesawat selanjutnya diberitakan: “Reruntuhan DC-3.Tim pendakian ekspedisi telah melacak rute selatan Pegunungan Carstensz dan berhasil menemukan reruntuhan pesawat terbang DC-3 (maksudnya C-47-red) Dakota milik Belanda. Tim ini juga berhasil mendaki lagi puncak tertinggi Carstensz Pyramide (4.884 m), dengan menyertakan dua pendaki wanita, Karina Arifin dan Ita Budi.

Kelly dari TVRI Jakarta dibantu Arianto, berhasil merekam peristiwa penelitian, pendakian, dan penemuan reruntuhan pesawat dengan kamera 16 mm. Diharapkan hasil rekaman nanti menambah keterangan tentang hasil yang telah diperoleh Mapala UI.

Para korban kecelakaan X-11

* Kru pesawat:

1. Lettu/Pnb. L.N. Bieger
2. Serka/Pnb. J.W.A. Brochard
3. Pelda/Tek. R.H.F. Rudolph
4. Serma/Hub. J. Akkerman
5. Prada Wamil/Tek. D. De Klerk

* Penumpang:

1. Istri Perwira AL dan bayinya
2. Tawanan Para Indonesia

Dari survei rute selama dua hari, akhirnya tim melalui rute selatan berhasil mendapati rute sebenarnya ke arah reruntuhan pesawat. “Waktu survei dua hari, pendakian yang benar hanya empat jam. Badan pesawat mulai pintu tengah sampai ekor boleh dikata utuh, lainnya berantakan,” kata Arianto. Diterangkan juga, pesawat menabrak dinding padas, lalu pecah, dan sisa badan pesawat terjerembab di atas teras batu ditutupi lumut.

Berhasil ditemukan beberapa tulang pinggul, tangan, serta sisa tempurung kepala manusia. Selain jaket penyelamat, gear box, dynamo wiper, helio-gram, mirror, segulung film positif 8 mm, dan beberapa temuan lainnya.”Pesawatnya berwarna hijau loreng, masih kelihatan gambar bendera Belanda. Memang Atase Militer Kedubes Belanda, Brigjen J. Linzell, juga mengatakan hal yang sama. Mereka pernah memotret reruntuhan itu, kami pun banyak mendapat informasi darinya,” ujar Arianto lagi.

Harian yang sama dalam edisi 27 April 1981 menurunkan tulisan yang menceritakan bahwa reruntuhan pesawat C-47 Dakota ditemukan pertama kali oleh Norman Edwin pada tanggal 3 April 1981, pukul 10:30 WIT. “Setengah badan pesawat itu masih utuh, rupanya menabrak dinding selatan Carstensz lalu ambruk di teras,” tutur Kelly Saputro, juru kamera TVRI Jakarta yang mengikuti ekspedisi Mapala UI. “Bagian depannya mungkin hancur dan terlontar ke tempat lain.”
Pesawat Dakota itu milik Belanda, mendapat kecelakaan setelah melanggar dinding gunung tinggi saat terbang dari Merauke ke Biak pada masa konfrontasi Indonesia-Belanda tahun 1963. “Memang penemuan ini yang pertama kali, sedangkan pesawat udara yang ditemukan beberapa tim pendaki sebelumnya milik Amerika,” kata Kelly sambil menerangkan lagi, “Tahun 1944 ada pesawat Dakota kargo milik AU AS jatuh di komplek pegunungan Jayawijaya. Tak lama kemudian, Komisi Korban Perang AS sempat mendatangi dan membawa beberapa sisa tubuh korban untuk dimakamkan di negaranya.

sumber : http://www.mapala-upn-yk.org


TEKNIS PELAYANAN PENDAKIAN DI TAMAN NASIONAL Gn.GEDE PANGRANGO


SURAT KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
Nomor: SK. 84 /11-TU/1/2009

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS
PELAYANAN PENDAKIAN
DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG GEDE PANGRANGO

KEPALA BALAI BESAR
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

Menimbang : a. bahwa kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan Kawasan Pelestarian Alam yang mengembangkan fungsi pemanfaatan berkelanjutan, oleh karena itu pengembangan aktivitas wisata alam perlu dikelola dengan optimal untuk memberikan pengalaman memuaskan bagi pengunjung, namun tetap menjaga kualitas fungsi kawasan;

b. bahwa pendakian ke puncak Gunung Gede dan Pangrango merupakan aktifitas wisata alam yang paling populer di kawasan TNGGP, dan terbukti bahwa kegiatan pendakian memberikan dampak terhadap kawasan, berupa sampah, erosi, vandalisme, pencemaran sumber air, pengambilan sumber daya alam hayati seperti bunga edelweiss. Oleh karena itu kegiatan pendakian harus dikelola dengan baik sehingga dapat meminimalkan dampak tersebut dan meningkatkan kenyamanan bagi pengunjung;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a,b dan dalam rangka optimalisasi fungsi pelayanan bagi pendaki serta untuk keseragaman pelaksanaan pelayanan pendakian oleh petugas, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Balai Besar TNGGP tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pendakian di Kawasan TNGGP.

Mengingat : 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
4. Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
5. Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan;
6. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 28/Kpts-II/2003 jo Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.233/Menhut- II/2004 tentang Pembagian Rayon di Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman Buru Dalam Rangka Pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
8. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.02/Menhut- II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan Pungutan dan Iuran Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam;
9. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut- II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : PETUNJUK TEKNIS PELAYANAN PENDAKIAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

KESATU : Keputusan Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pendakian Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini;

KEDUA : Petunjuk Teknis (Juknis) sebagaimana dimaksud dalam amar KESATU merupakan acuan bagi petugas pelayanan pendakian dan seluruh staf Balai Besar TNGGP dalam melayani pengunjung pendakian;

KETIGA : Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur kemudian;

KEEMPAT : Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Kepala Balai TNGGP Nomor 69/VI-TU/2007 tanggal 5 Oktober 2007 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pendakian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dinyatakan tidak berlaku lagi;

KELIMA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Cibodas
Pada tanggal : 10 Agustus 2009
KEPALA BALAI BESAR,

Ttd

Ir. SUMARTO, MM.
NIP. 19610708 198703 1 002

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.
1. Direktur Jenderal PHKA.
2. Sekretaris Ditjen PHKA.
3. Direktur Konservasi Kawasan Ditjen PHKA
4. Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Ditjen PHKA
5. Kepala Pusat Informasi Kehutanan
6. Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat
7. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
8. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi
9. Pejabat Eselon 3 dan 4 Lingkup Balai Besar TNGGP

Lampiran : Keputusan Kepala Balai Besar TNGGP tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Pendakian Di TNGGP.

Nomor : SK. 84/11-TU/1/2009
Tanggal : 10 Agustus 2009

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu lokasi pendakian yang cukup dikenal di Indonesia. Hal ini terbukti dengan tingginya minat pengunjung untuk melakukan pendakian di kawasan TNGGP. Aksesibilitas menuju kawasan yang relatif mudah dan jalur pendakian yang cukup memadai, menyebabkan pendakian ke Puncak Gede dan Pangrango sangat populer di kalangan pendaki pemula, pelajar, mahasiswa dan kelompok pencinta alam dari kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Tangerang, dan kota-kota lain. Setiap tahun rata-rata hampir 60 % pengunjung datang untuk tujuan pendakian.

Tingginya minat pengunjung untuk aktifitas pendakian, ternyata memberikan dampak negatif yang nyata terhadap ekosistem kawasan TNGGP. Dampak negatif tersebut terjadi di sepanjang jalur pendakian, alun-alun Mandalawangi dan Kandang Badak. Contoh dari dampak tersebut adalah sampah pengunjung dan vandalisme terhadap fasilitas-fasilitas rekreasi dan wisata alam. Data menunjukkan sampah per minggu yang dihasilkan dari aktifitas pengunjung di pintu masuk Cibodas adalah 63.175 gram dan di Kandang Badak / perkemahan mencapai 97.225 gram (Aep Priatna, 2004). Dampak negatif lainnya adalah erosi dan pengerasan tanah terutama di jalur pendakian, serta pencemaran sumber air tanah.

Karakteristik pendaki di TNGGP umumnya adalah pelajar baik pelajar SLTA dan SLTP maupun mahasiswa. Rendahnya pengetahuan serta kesadaran pengunjung tentang bagaimana berperilaku yang baik dan selaras ketika berada di kawasan konservasi tidak dapat dipungkiri merupakan penyebab terjadinya dampak negatif dari kegiatan pendakian di kawasan TNGGP.

Kegiatan pendakian di alam memiliki resiko. Resiko dapat bervariasi mulai dari kecelakaan ringan hingga kecelakaan berat yang dapat mengakibatkan kematian. Resiko kecelakaan pendaki menjadi semakin tinggi oleh karena pengunjung kurang mematuhi peraturan dan cara berperilaku yang seharusnya saat melakukan pendakian, antara lain : penggunaan pakaian dan alas kaki yang tidak layak, serta tidak mengikuti jalur setapak yang sudah disediakan.

Oleh karena itu, dalam upaya mengurangi dampak kerusakan pada ekosistem, dan untuk meningkatkan “image” TNGGP sebagai daerah tujuan WISATA ALAM yang berwawasan lingkungan, diperlukan upaya pengaturan pengunjung untuk tujuan pendakian.

Pengaturan pengunjung merupakan salah satu bentuk upaya pengendalian yang perlu dilakukan agar dampak negatif dari aktivitas wisata ini dapat ditekan, dan keselamatan pendaki dapat lebih terjamin. Selain itu, dengan adanya pengaturan ini maka pengelolaan aktifitas pendakian dapat berjalan efektif yang merupakan wujud pelayanan prima kepada pengunjung.

Pengelolaan pengunjung pendakian telah dilakukan di Balai TNGGP dan diformulasikan dalam bentuk Surat Keputusan Kepala Balai TNGGP No.18/Kpts/V- TNGP/2002 dan Surat Keputusan Balai Besar TNGGP No.69/VI-TU/ 2007 tentang Juknis Pelayanan Pendakian TNGGP. Juknis ini merupakan pedoman bagi petugas dalam memberikan pelayanan bagi pendaki, yang meliputi Prosedur pendakian, terutama sistem registrasi (langsung dan tidak langsung/booking) , waktu booking, sistem kuota pendaki, dan peraturan bagi pendaki ketika berada di dalam kawasan.

Juknis Pelayanan Pendakian pertama diformulasikan dalam bentuk Surat Keputusan Kepala Balai TNGGP No.18/Kpts/V- TNGP/2002 yang kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Balai Besar TNGGP No.69/VI-TU/ 2007 tentang Juknis Pelayanan Pendakian TNGGP. Dalam kurun waktu 7 tahun sejak diterbitkannya Juknis Pelayanan Pendakian pertama dan revisinya, telah terjadi beberapa perkembangan ketentuan bagi aktifitas pendakian di TNGGP sehingga dipandang perlu dilakukan revisi demi pelayanan kenyamanan, keamanan dan kepuasan pengunjung.

Dengan adanya revisi ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan pendakian yang lebih efektif dan kegiatan pendakian yang semakin mendekati prinsip-prinsip ekowisata sesuai dengan tujuan pokok pengembangan wisata alam di kawasan TNGGP.

Petunjuk Teknis ini disusun berdasarkan hasil evaluasi terhadap Petunjuk Teknis yang merupakan Lampiran dari Keputusan Kepala Balai TNGGP Nomor 69/VI-TU/2007. Revisi dilakukan terutama terhadap prosedur pendakian (pengajuan izin pendakian, sistem booking dan pengurusan SIMAKSI), jam masuk kedalam dan keluar kawasan, penetapan jumlah anggota pendaki, petugas pelayanan pendakian dan prosedur keselamatan pendaki.

III. PROSEDUR PENDAKIAN

A. Kuota

Jumlah pengunjung pendakian di TNGGP ditetapkan dengan sistem kuota yaitu sebanyak 600 orang/hari dengan rincian pada masing-masing pintu masuk pendakian sebagai berikut:
1. Pintu Masuk Mandalawangi Cibodas 300 orang/hari
2. Pintu Masuk Gunung Putri 200 orang/hari
3. Pintu Masuk Selabintana 100 orang/hari

B. Pengajuan Ijin Pendakian

Perijinan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan pertama kali oleh para calon pendaki di kawasan TNGGP. Perijinan ini bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada pengunjung dan merupakan keabsahan sebagai pengunjung TNGGP.

Perijinan untuk pendakian di Balai Besar TNGGP dilaksanakan dengan sistem Booking (Reservasi), dengan ketentuan sebagai berikut :

(a) Booking diberlakukan bagi pendaki yang berasal dari dalam negeri (WNI) atau pendaki luar negeri yang memliki KITAS dan bertempat tinggal (residen) di Indonesia.
(b) Bagi calon pendaki dari luar negeri (WNA) tidak diberlakukan sistem booking. Mengingat pertimbangan tertentu antara lain keterbatasan waktu tinggal di Indonesia dan meningkatkan kegiatan kepariwisataan pada skala internasional / promosi ke Indonesia khususnya ke TNGGP.
(c) Booking dilakukan paling cepat 1 (satu ) bulan sebelum tanggal pelaksanaan pendakian dan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelumnya (H-30 sampai dengan H-7);
(d) Konfirmasi kepastian dari booking harus dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum tanggal pendakian (H-7), jika sampai H-7 tidak ada konfirmasi, maka booking dianggap batal;
(e) Apabila sebelum H-7 kuota sudah terpenuhi, maka calon pendaki yang akan membooking dimasukan pada daftar cadangan;
(f) Apabila sampai H-7 masih tersedia kuota, maka calon pendaki masih diijinkan sampai H-3;
(g) Apabila pada hari H masih tersedia kuota, maka calon pendaki dapat diijinkan naik pada hari tersebut;
(h) Booking diharuskan membayar sebesar 30 % dari biaya total. Pelunasan pembayaran dilakukan pada saat pengambilan SIMAKSI;
(i) Booking dilakukan secara on line dengan mengisi formulir yang bisa di download dari website TNGGP : www.gedepangrango. org kemudian di fax ke (0263)512776 atau di e mail ke info@gedepangrango. org untuk lebih jelasnya sebelum pelaksanaan booking online dapat menghubungi kantor Balai Besar TNGGP;
(j) Booking akan valid atau sah apabila dilampirkan bukti setoran;
(k) Bila karena sesuatu hal yang berasal dari calon pendaki, membatalkan pendakian secara sepihak maka pembayaran booking tidak dapat dikembalikan.

Booking dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu :

1. Telepon / Faksimil

Calon pengunjung pendakian TNGGP dapat melakukan booking melalui telepon/faksimil ke Kantor Balai Besar TNGGP (0263-512776/ 519415) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Layanan telepon hanya pada hari Senin s/d Jum’at (pukul 08.00 – 15.30 WIB), sedangkan layanan faksimil terbuka pada hari Senin s/d Minggu;
b. Mengkonfirmasi terlebih dahulu ketersediaan kuota pada tanggal pendakian yang diinginkan masih ada atau tidak;
c. Mengirimkan data diri seluruh calon pendaki (fotocopy KTP/SIM/Kartu Pelajar/Passpor yang masih berlaku, termasuk data umur, jenis kelamin, pekerjaan dan nama ketua rombongan), waktu pendakian, pintu masuk dan keluar pendakian melalui faksimil;

b. Langsung

Booking dapat dilakukan dengan cara langsung datang ke bagian perijinan di Visitor Centre di Kantor Balai Besar TNGGP Cibodas pada jam kerja yaitu Senin s/d Jum’at pukul 08.00 s/d 15.30 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu, pengunjung dapat melakukan booking dan penyelesaian administasi pendakian pada pukul 09.00 s/d 15.00 WIB dengan membawa semua persyaratan yang dibutuhkan.

c. On-line

Booking melalui sistem online dapat dilakukan dengan mengunjungi situs www. gedepangrango. org dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Layanan on-line dapat dilakukan 24 jam setiap harinya
2. Booking diharuskan membayar sebesar 30 % dari biaya total. Pelunasan pembayaran dilakukan pada saat pengambilan SIMAKSI.
3. Booking dilakukan secara on line dengan mengisi formulir yang bisa di download dari website TNGGP : www.gedepangrango. org kemudian di fax ke (0263)512776 atau di e-mail ke info@gedepangrango. org untuk lebih jelasnya sebelum pelaksanaan booking online dapat menghubungi kantor Balai Besar TNGGP;

C. Pengurusan SIMAKSI

a. Setiap calon pendaki yang telah mengajukan ijin pendakian (booking) baik yang melalui telepon/faks maupun yang langsung, harus mengurus SIMAKSI pendakian maksimal 1 hari sebelum hari H pendakian (H-1) setelah melakukan pelunasan pembayaran perijinan;
b. Waktu pengurusan SIMAKSI pendakian pada jam kantor 08.00 s/d 15.00 WIB di loket perijinan di Kantor Balai Besar TNGGP di Cibodas;
c. Penyelesaian dan pengambilan SIMAKSI pendakian dilakukan di loket perijinan kantor Balai Besar TNGGP di Cibodas setiap hari pada jam kerja;
d. Bila SIMAKSI pendakian belum diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan yaitu H-7, maka booking yang bersangkutan dinyatakan batal dan jatah kuota akan diberikan kepada pendaki yang mendaftar untuk tanggal tersebut dan menyelesaikan administrasi SIMAKSI pendakian pada tanggal tersebut;
e. Validasi SIMAKSI pendakian dilakukan oleh Kepala Balai Besar atau pejabat yang ditunjuk dengan tanda tangan asli / basah;
f. Pembayaran tiket/karcis masuk dan asuransi dilakukan di loket perijinan resmi dan diselesaikan pada saat pengambilan SIMAKSI pendakian;
g. Segala bentuk perijinan yang dilakukan tidak di loket resmi TNGGP dianggap illegal dan pihak Balai Besar TNGGP tidak menanggung akibat yang terjadi;
h. SIMAKSI pendakian hanya berlaku untuk satu (1) kali masuk.

Persyaratan

Untuk dapat memperoleh SIMAKSI pendakian di TNGGP, maka setiap calon pendaki harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Fotokopi identitas resmi (KTP/Kartu Pelajar/KTM/ SIM/Pasport) yang masih berlaku untuk semua peserta pendakian;
b. Bagi calon pendaki yang berusia kurang dari 17 tahun, disamping identitas diri bersangkutan harus pula menyertakan Surat Ijin Orang Tua/Wali yang ditandatangani diatas materai senilai Rp. 6000, serta dilengkapi fotocopy KTP dari orang tua/wali;
c. Jumlah anggota pendaki dalam 1 kelompok minimal 3 (tiga) orang;
d. Satu kelompok harus memiliki 1 (satu) orang ketua kelompok yang berperan sebagai penanggungjawab kelengkapan administrasi dan keselamatan anggotanya;
e. Pendakian di kawasan TNGGP wajib didampingi oleh pemandu yang disertifikasi oleh Balai Besar TNGGP;

D. Tiket Masuk

1. Tiket pendakian di TNGGP dikenakan sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1998 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Departemen Kehutanan. Bila terdapat aturan / kebijakan baru tentang tarif tiket di kawasan konservasi, maka tarif tiket pendakian di TNGGP akan disesuaikan;
2. Tiket berlaku untuk usia 5 tahun ke atas;
3. Harga tiket dikenakan sebesar yaitu Rp. 2.500,- per hari per orang untuk pendaki domestik dan Rp. 20.000,- per hari per orang untuk pendaki mancanegara;
4. Setiap pendaki (domestik dan mancanegara) diwajibkan membeli asuransi sebesar Rp. 2.000,- per orang;
5. Harga diskon sebesar 50 % dari tarif normal dapat diberikan untuk pendakian yang bertujuan pendidikan dan pelatihan (Educational rate) dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Ada surat rekomendasi dari kepala sekolah/dekan/ ketua jurusan/pimpinan organisasi yang menyatakan bahwa kegiatan pendakian sebagai bagian dari pendidikan/pelatiha n;
b. Diberikan kepada kelompok pendaki yang bertujuan untuk pendidikan dengan aktivitas yang berkaitan atau sebagai bagian dari mata pelajaran tertentu di sekolah/universitas ;
c. Pendakian merupakan bagian dari upaya peningkatan keterampilan siswa/mahasiswa dalam kerjasama kelompok;
d. Setiap kelompok / organisasi yang akan melakukan pendakian secara massal harus menyertakan proposal dan dipresentasikan di kantor Balai Besar TNGGP.
7. Kategori kelompok yang dapat diberikan diskon adalah:
1. SLTP atau sederajat dari Sekolah Negeri/Swasta;
2. SLTA atau sederajat dari Sekolah Negeri/Swasta;
3. Akademi, Perguruan Tinggi Negeri/Swasta;
4. Lembaga pendidikan Bagi Orang Cacat;
(Catatan: diskon diberikan apabila memenuhi persyaratan pada huruf a,b,c,d nomor 6 diatas)
Dalam hal-hal tertentu diskon dapat diberikan kepada kelompok lain di luar kategori diatas.
8. Diskon tidak dapat diberikan kepada kelompok pendaki dari lembaga pendidikan luar sekolah (lembaga kursus, dll), operator wisata, kegiatan rekreasi/sosial suatu organisasi;
9. Diskon hanya berlaku pada saat hari biasa (Senin s/d Jum’at) dan tidak diberlakukan pada hari libur resmi sekolah, libur resmi nasional dan akhir minggu (Sabtu dan Minggu);
10. Grup dari sekolah dan perguruan tinggi/akademi yang tersebut pada nomor 7 diatas yang pelaksanaan pendakiannya diorganisir oleh operator wisata komersial tidak berhak mendapatkan diskon.

E. Ketentuan Lain-Lain

2. Tes Tertulis

Sebelum melaksanakan pendakian, para calon pendaki diwajibkan untuk mengikuti tes tertulis tentang pengetahuan pendakian di Visitor Center dan atau Information Center BBTNGGP. Apabila dari hasil tes tersebut calon pendaki dinyatakan tidak lulus maka yang bersangkutan tidak diperbolehkan melakukan pendakian pada saat itu.

3. Pemanduan

Setiap 1 (satu) grup pendaki Indonesia (WNI) yang berjumlah 3- 10 orang (umum) dan 3-20 orang (pelajar) serta pendaki Asing (WNA) wajib dipandu oleh pemandu yang berasal dari Forum Interpreter Balai Besar TNGGP

4. Perubahan/Pembatala n SIMAKSI Pendakian

? Perubahan jadwal pendakian, penambahan ataupun pengurangan calon pendaki dapat dilakukan paling lambat 5 (lima) hari sebelum tanggal pendakian (H-5) selama kuota masih tersedia;
? Bagi calon pendaki yang sudah memegang SIMAKSI pendakian tidak dapat menambah, mengurangi jumlah, ataupun mengganti calon pendaki karena terkait dengan kuota dan pembukuan pada sistem booking;
? Pembatalan oleh calon pendaki dapat diterima, tetapi karcis masuk dan asuransi yang telah dibayarkan tidak dapat dikembalikan (segala biaya menjadi resiko pendaki);
? Pembatalan SIMAKSI pendakian dapat dilakukan jika terjadi Force Majeur, yaitu terjadinya bencana alam, seperti gunung meletus, angin kencang, hujan lebat, kebakaran hutan dan lain-lain yang dapat mengancam keselamatan pendaki, sehingga TNGGP perlu menutup kegiatan pendakian tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dalam hal ini, tiket masuk dan asuransi yang telah diterima pendaki dapat ditarik dan diuangkan kembali

2. Batas Lama Pendakian

a. Batas lama pendakian yang diijinkan di TNGGP adalah 2 (dua) hari dan 1 (satu) malam;
b. Jika ada tujuan khusus seperti penelitian, pengambilan foto, pembuatan video / film, dan lain-lain, ingin melakukan pendakian lebih dari ketentuan pada nomor a diatas, maka harus ada ijin khusus dari Kepala Balai Besar TNGGP;
c. Bila pendaki melanggar ketentuan batas lama pendakian maka dianggap melanggar dan akan dikenakan sanksi.

3. Penutupan Pendakian

Penutupan jalur pendakian merupakan salah satu bentuk pengelolaan pendakian yang dilakukan dalam rangka pemulihan (recovery) ekosistem, antisipasi bahaya kebakaran akibat musim kemarau, dan antisipasi cuaca dingin akibat musim hujan yang disertai angin yang dapat membahayakan para pendaki.

Mekanisme penutupan ada 2 yaitu rutin dan insidentil (sewaktu-waktu bila dibutuhkan) yang kepastian penutupannya akan dikeluarkan oleh Balai Besar TNGGP dan diumumkan melalui Website dan atau media lainnya.

b. Penutupan Rutin

Penutupan jalur pendakian secara rutin direncanakan dilakukan selama 2 kali dalam 1 tahun yaitu pada waktu-waktu sebagai berikut :
1. Bulan Agustus selama 1 bulan penuh (1 Agustus-31 Agustus) dikarenakan pada bulan ini merupakan musim kemarau dan sebagai antisipasi bahaya kebakaran hutan serta pemulihan ekosistem.
2. Bulan Januari s/d Maret (1 Januari – 31 Maret) dikarenakan pada bulan ini merupakan musim hujan, suhu dingin dan bahaya angin kencang. Ini merupalan salah satu upaya pengamanan pengunjung TNGGP.

Penutupan rutin akan diumumkan oleh Balai Besar TNGGP, melalui spanduk, surat edaran dan website TNGGP (www.gedepangrango. org).

c. Penutupan Insidentil

Penutupan pendakian dapat juga dilakukan sewaktu-waktu oleh Balai Besar TNGGP bila diperlukan. Pendakian akan ditutup sementara bila terjadi bahaya longsor, angin ribut, dan kebakaran hutan untuk melindungi pengunjung dari bahaya kecelakaan.

IV. PELAKSANAAN PENDAKIAN

Setelah calon pendaki mendapatkan SIMAKSI pendakian, selanjutnya calon pendaki dapat melakukan kegiatan pendakian pada hari/tanggal dan pintu masuk yang telah ditetapkan.

Alur pelaksanaan pendakian adalah sebagai berikut :

A. Pintu Masuk Pendakian

1. Pendaki melapor di pintu masuk sesuai yang tercatat pada SIMAKSI Pendakian;
2. Waktu melapor mulai pukul 07.00 s/d 22.00 WIB setiap harinya;
3. Melakukan tes tertulis pada jam kerja atau 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan pendakian;
4. Menunjukkan surat ijin pendakian (lembar putih dan merah) berikut karcis masuk dan asuransi sebagai bukti keabsahan administrasi;
5. Petugas meneliti dan mengecek data yang tertera pada surat ijin meliputi: nomor, nama ketua regu, jumlah anggota, pintu masuk, tanggal pendakian, karcis masuk dan asuransi serta nama-nama anggota pendakian;
6. Petugas memberi informasi tentang peraturan/tata tertib pendakian;
7. Petugas melakukan pemeriksaan (check packing) terhadap barang bawaan pengunjung termasuk perbekalan logistik untuk pendakian;
8. Untuk mempercepat proses pemeriksaan (check packing), disarankan ketua kelompok sudah mencatat jenis barang bawaan pada bagian belakang lembar SIMAKSI pendakian sebelum melapor di pintu masuk.
9. Setelah pemeriksaan, petugas memberikan validasi (paraf dan tanggal) pada lembar SIMAKSI pendakian.
10. SIMAKSI pendakian lembar putih berikut karcis masuk dan asuransi diberikan kembali kepada pendaki sebagai bukti yang sah selama aktifitas pendakian, sedangkan lembar merah disimpan di pintu masuk sebagai arsip setelah dilakukan pencatatan pada buku register pendakian (masuk).
11. Pendaki dianggap sebagai pengunjung pendakian secara resmi sejak masuk/memasuki kawasan TNGGP.

B. Saat Pendakian

Dalam rangka pengamanan pengunjung pendakian dan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:

5. Setiap pendaki harus menggunakan pakaian dan sepatu khusus untuk standar pendakian.
6. Pendaki harus tetap berjalan pada jalur yang telah ditentukan. Tidak diijinkan berjalan di luar jalur, membuat jalur baru dan atau membuat jalur pintas/short cut;
7. Kemping hanya dilakukan pada lokasi yang telah ditentukan yaitu Kandang Batu, Kandang Badak, Alun-Alun Mandalawangi, Alun-Alun Barat dan Timur dan Cigeber ;
8. Kemping selain dilokasi pada no. 3 diatas tidak diijinkan dan akan dianggap illegal bila dilakukan. Bila hal ini dilakukan, maka akan ditindak oleh petugas sesuai sanksi yang berlaku;
9. Saat pendakian dan kemping, pengunjung tidak diijinkan membuat api dari kayu untuk memasak, perapian dan tujuan lainnya. Pengunjung pendakian disarankan untuk membawa parafin, kompor gas / minyak tanah untuk keperluan memasak.
10. Setiap rombongan pendaki diwajibkan membawa 1 kantong sampah untuk memasukkan sampah setelah pendakian
11. Sampah-sampah pendaki harus dibawa kembali dan ditempatkan pada pembuangan sampah di pintu keluar.
C. Pintu Keluar Pendakian

1. Waktu melapor mulai pukul 07.00 s/d 22.00 WIB setiap harinya.
2. Menunjukkan surat ijin pendakian (lembar putih) berikut karcis masuk dan asuransi sebagai bukti keabsahan administrasi.
3. Petugas meneliti dan mengecek data yang tertera pada surat ijin meliputi: nomor, nama ketua regu, jumlah anggota, pintu masuk, tanggal pendakian, karcis masuk dan asuransi serta nama-nama anggota pendakian.
4. Ketua regu wajib mengecek kelengkapan jumlah anggotanya.
5. Pemeriksaan (Check packing) dilakukan terhadap barang bawaan pengunjung setelah melakukan pendakian.
6. Pendaki menunjukkan hasil sampah dari barang bawaannya kepada petugas dan membuangnya pada lokasi yang ditentukan.
7. Setelah pemeriksaaan, petugas memberikan validasi (paraf dan tanggal) pada kolom yang sudah tersedia.
8. SIMAKSI pendakian lembar putih diberikan kepada petugas pintu keluar sebagai arsip setelah dilakukan pencatatan di buku register pendakian (keluar)
9. Kegiatan pendakian selesai sejak pendaki menyampaikan SIMAKSI pendakian lembar putih kepada petugas pintu keluar.

V. TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB PETUGAS PELAYANAN PENDAKIAN

A. Petugas Perijinan

Petugas pelayanan perijinan pendakian di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah pegawai Balai Besar TNGGP yang mempunyai tugas mengelola dan menerbitkan SIMAKSI pendakian. Adapun petugas perijinan terdiri dari 2 orang yang masing-masing mempunyai fungsi :
1. Sebagai pengurus administrasi
2. Sebagai interpreter/ pemberi informasi

Rincian tugas yang dilakukan oleh petugas perijinan pendakian adalah sebagai berikut :

1. Menerima telepon atau faksimil dari calon pendaki dalam rangka booking, kuota dan memberikan penjelasan tentang syarat memperoleh simaksi pendakian. (Tata cara menerima telepon dan memberikan informasi lewat telepon kepada calon pendaki dapat dilihat pada Anak Lampiran 3);
2. Mencatat booking kedalam buku register (tata cara menulis booking dalam buku register pada Anak Lampiran 4,6,7,8);
3. Setiap hari memeriksa kuota pendakian;
4. Tidak boleh memproses SIMAKSI pendakian jika persyaratan tidak lengkap sesuai dengan jumlah calon pendaki;
5. Memeriksa keabsahan persyaratan seperti masa berlaku, keaslian dan kepemilikan tanda pengenal;
6. Mencatat semua data yang dibutuhkan ke dalam SIMAKSI pendakian sesuai data calon pendaki yang ada;
7. Menerbitkan SIMAKSI pendakian;
8. Mencatat dan merekapitulasi semua data SIMAKSI/pengunjung pendakian yang telah dikeluarkan ke dalam buku register sesuai pintu masuk dan tanggal masuk (tata cara mencatat rekapitulasi SIMAKSI pendakian dapat dilihat pada Anak Lampiran 4 dan 9).
9. Mencatat dan merekapitulasi jumlah pengunjung perhari sesuai dengan SIMAKSI pendakian dan diberikan kepada petugas poskodal agar disampaikan kepada petugas pintu masuk (lihat Anak Lampiran 9);
10. Menyerahkan SIMAKSI pendakian ke petugas pemungut tiket masuk dan asuransi;
11. Mengecek ulang tiket masuk dan asuransi;
12. Penandatanganan SIMAKSI pendakian oleh ketua rombongan;
13. Penandatanganan SIMAKSI pendakian dan stempel oleh petugas;
14. Wajib memberikan informasi mengenai tata tertib pendakian di TNGGP kepada calon pendaki;
15. Membuat Berita Acara Serah Terima SIMAKSI pendakian pada setiap akhir piket pelayanan perijinan untuk disampaikan kepada petugas piket pelayanan perijinan berikutnya.

B. Petugas Pemungut Tiket Masuk

1. Memeriksa kesesuaian dan keabsahan SIMAKSI pendaki (jumlah calon pendaki, pengunjung dalam negeri atau luar negeri);
2. Memberikan tiket masuk sesuai dengan data yang tertera dalam SIMAKSI pendakian;
3. Memberikan asuransi sesuai dengan data yang tertera dalam SIMAKSI pendakian;
4. Menulis nomor tiket masuk dan nomor asuransi pada buku registrasi yang sudah disediakan;
5. Membubuhkan tanggal masuk dan keluar pada setiap lembar tiket dan asuransi;
6. Menerima uang tiket masuk dan asuransi;
7. Menyetorkan hasil penerimaan uang tiket masuk dan asuransi kepada Bendahara penerima PNBP yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Kepala Balai Besar TNGGP.

C. Petugas Pintu Masuk

1. Memeriksa SIMAKSI pendakian seperti nomor SIMAKSI pendakian, nama ketua rombongan, umur, tiket masuk dan asuransi serta jumlah peserta;
2. Melaksanakan dan menilai hasil tes tertulis para calon pendaki serta menentukan apakah pendaki tersebut lulus atau tidak;
3. Memeriksa keabsahan peserta disesuaikan dengan identitasnya;
4. Memberikan informasi tentang aturan dan tata tertib pendakian di TNGGP;
5. Melakukan pemeriksaan (check packing) dan menulis barang bawaan yang menghasilkan sampah di belakang SIMAKSI pendakian;
6. Validasi SIMAKSI pendakian pada lembar merah oleh petugas masuk;
7. Memberikan dispensasi terhadap barang bawaan yang prioritas diperlukan;
8. Mencatat dalam SIMAKSI pendakian bahwa mereka telah diberikan pengarahan;
9. Mengarsipkan lembar SIMAKSI warna merah;
10. Mencatat SIMAKSI pendakian yang masuk kawasan dalam buku register (Anak Lampiran 9);
11. Menyerahkan buku register yang berisi data pengunjung masuk kawasan setiap 1 minggu sekali kepada Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNGGP;
12. Mencatat rekap calon pendaki yang akan masuk perharinya yang diperoleh dari petugas poskodal;
13. Melakukan evakuasi apabila terjadi kecelakaan pengunjung dengan terlebih dahulu melapor kepada Kepala Seksi Bidang Pengelolaan dan Resort setempat;
14. Melaporkan tindak pelanggaran dan hal-hal yang terjadi pada jalur pendakian kepada Kepala Bidang/Kepala Seksi Wilayah untuk kemudian diteruskan ke kantor Balai Besar TNGGP.

D. Petugas Pintu Keluar

1. Memeriksa SIMAKSI pendakian seperti nomor SIMAKSI pendakian, nama ketua rombongan, umur, tiket masuk dan asuransi serta jumlah peserta;
2. Memeriksa keabsahan peserta disesuaikan dengan identitasnya;
3. Mengecek sampah bawaan pada saat pengunjung turun dan menyesuaikannya dengan catatan pada lembar belakang SIMAKSI pendakian;
4. Validasi SIMAKSI pendakian pada lembar putih oleh petugas keluar;
5. Mengarsipkan lembar SIMAKSI warna putih;
6. Melakukan evakuasi apabila terjadi kecelakaan pengunjung dengan terlebih dahulu melapor kepada Kepala Seksi Wilayah/Kepala Resort setempat;
7. Menerima laporan dari pengunjung seperti laporan sakit, ada anggota yang turun lebih dahulu, perubahan rute dan lain-lain
8. Melaporkan tindak pelanggaran dan hal-hal yang terjadi pada jalur pendakian kepada Kepala Bidang/Kepala Seksi untuk kemudian diteruskan ke kantor Balai Besar TNGGP.

E. Petugas Poskodal

1. Meminta hasil rekapitulasi calon pengunjung yang telah terdaftar dari petugas perijinan pendakian;
2. Melaporkan melalui radio komunikasi hasil rekapitulasi tersebut kepada masing-masing petugas pintu masuk pendakian;
3. Menerima laporan dari petugas pintu masuk perihal kejadian darurat di lapangan;
4. Menindaklanjuti laporan tersebut kepada pejabat berwenang di Balai Besar TNGGP.

F. Volunteer

Volunteer dalam lingkup petugas pelayanan pendakian adalah kelompok sukarelawan yang berada pada pintu masuk atau pintu keluar pendakian dan bertugas:

1. Membantu petugas pintu masuk atau pintu keluar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam kelancaran pelayanan pendakian seperti : membantu memeriksa keabsahan SIMAKSI, memberikan informasi tentang aturan dan tata tertib pendakian di TNGGP, pemeriksaan (check packing) barang bawaan dan melakukan evakuasi apabila terjadi kecelakaan pengunjung ;
2. Membantu petugas patroli dalam melakukan pengawasan dan melaporkan pelanggaran serta hal-hal yang terjadi di jalur pendakian kepada petugas pintu masuk atau pintu keluar pendakian.

G. Lain-Lain

1. Petugas di bagian perijinan dan petugas pemungut karcis tidak diperkenankan melayani pengunjung pendakian diluar jam yang telah ditentukan, kecuali ada perintah (lisan atau tertulis) dari Kepala Balai Besar atau yang berwenang;
2. Petugas poskodal agar menyarankan pendaki yang datang mengurus SIMAKSI pendakian dan tiket/asuransi diluar jam yang telah ditentukan untuk datang pada jam kantor serta tidak diperkenankan untuk melayani pengunjung seperti memberi SIMAKSI pendakian.

VI. PERATURAN PENDAKIAN

Peraturan pendakian merupakan rambu-rambu yang harus diikuti oleh pendaki saat berada di dalam kawasan TNGGP, meliputi Larangan dan Sanksi yang dikenakan bila melanggar peraturan pendakian.

A. Larangan

Setiap pengunjung pendakian yang memasuki kawasan TNGGP, DILARANG :

1. Mengambil, memetik, memotong tumbuhan dan atau bagian-bagiannya serta benda-benda lainnya dan membawa ketempat lain;
2. Menangkap, melukai dan atau membunuh satwa yang ada dalam kawasan;
3. Dilarang membawa binatang kedalam maupun keluar kawasan;
4. Membawa minuman keras atau beralkohol ;
5. Membawa obat-obatan terlarang yang termasuk dalam daftar G Departemen Kesehatan, seperti putau, heroin, leksotan, ekstasi, ganja dan lain-lain yang sejenis dan berbahaya;
6. Membawa alat musik dan alat bunyi-bunyian lainnya seperti gitar, piano, seruling, harmonika, peluit, serta alat-alat lain jika dibunyikan akan mengganggu ketenangan kehidupan flora dan fauna;
7. Membawa alat elektronik seperti radio komunikasi (Handy Talky), radio, tape, walkman, gamewatch, wireless dan lain-lain, kecuali jam tangan, telepon seluler (ponsel) dan kamera saku. Alat-alat elektronik tersebut dapat mengganggu ketenangan kehidupan flora fauna serta membahayakan pendaki gunung sendiri karena akan mengganggu konsentrasi dalam perjalanan di hutan. Untuk kegiatan nasional, operasi bersih sampah dan pendidikan lingkungan, Kepala Balai Besar atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan ijin membawa Handy Talky dengan terlebih dahulu mengajukan proposal kegiatan;
8. Membawa senjata api, senapan angin dan senjata tajam seperti golok, pisau (belati, lipat, dapur, dll) serta alat pemotong lainnya. Bagi rombongan pendaki yang membawa makanan kaleng, petugas lapangan dapat memberikan ijin membawa pisau lipat kecil 1 (satu) buah untuk setiap rombongan;
9. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk berburu seperti senjata angin, panah, ketepel, tombak, jerat lem atau kurungan, dan lain-lain;
10. Membawa bahan detergen dan bahan pencemaran lainnya, seperti odol, sabun, shampoo, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut dapat membahayakan bagi lingkungan sekitar;
11. Membawa berbagai jenis cat, termasuk cat semprot, untuk menghindari kemungkinan terjadinya vandalisme;
12. Melakukan vandalisme, berupa perusakan fasilitas wisata, membuat coretan dan tempel menempel pada fasilitas wisata;
13. Membuang sampah dalam kawasan dan tidak membawa turun kembali sampah bawaannya ke luar kawasan;
14. Membuat api unggun dan atau perapian di dalam kawasan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kebakaran hutan;
15. Melakukan pendakian sendiri.

B. Prosedur keselamatan pendaki

Demi kenyamanan dan keamanan, setiap pendaki diwajibkan untuk menggunakan:
1. Tenda kedap air;
2. Ransel/carier dengan spesifikasi kuat dan kondisi baik (jahitan, resleting, pengikat), nyaman dipakai, Kapasitas 60 – 100 lt, tidak mengganggu pergerakan;
3. Matras dengan spesifikasi ketebalan min 3 mm, lebar min 40 cm, panjang min 180 cm, dapat digulung dan memakai pengikat, ringkas;
4. Kantong tidur (Sleeping bag);
5. Sarung tangan dengan spesifikasi jari-jari tangan tertutup, sesuai dengan ukuran tangan menutup/melebihi pergelangan tangan;
6. Kaos kaki diutamakan bahan semi wool, kuat dan tebal, bahan bukan nylon dan membawa cadangan ( 2 Ps);
7. Baju lapangan tangan panjang, mudah kering (menyerap keringat)serta
Tidak terlalu longgar/ketat;
8. Celana lapangan dengan spesifikasi bahan tidak terbuat dari jeans,
mempunyai saku tambahan (saku samping), tidak terlalu longgar/ketat;
9. Pakaian tidur/training/ sweater/kaos tangan panjang yang bersifat menghangatkan (1 Stel);
10. Balaclava / kupluk diutamakan bahan semi wool;
11. Sepatu diutamakan sepatu militer, kuat, nyaman dengan membawa Tali sepatu cadangan (1 Ps);
12. Jas hujan jenis ponco terdapat lubang untuk kepala
Jenis bahan tidak mudah sobek/berserat/ plastic;
13. Webbing bukan tali/tambang (plastic / sabut) dengan spesifikasi jenis tubular, Lebar 27 mm, Panjang 4 m, kondisi baik (tidak aus dan lapuk);
14. Lampu senter menggunakan 2 buah baterai besar,
diberi tali gantungan dengan bohlam cadangan (2 buah), baterai cadangan (2 buah);
15. Lampu badai;
16. Peralatan masak : misting / nasting lengkap dengan spesifikasi bahan aluminium dan
memakai pembungkus, parafin atau kompos gas kecil;
17. Perbekalan logistik, disesuaikan dengan rencana perjalanan dan jumlah anggota kelompok;
18. Obat-obatan pribadi (alat P3K).

C. Sanksi

Sanksi dapat dikenakan kepada setiap pelaku yang melanggar ketentuan sebagaimana tertuang dalam juknis. Sanksi-sanksi akan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai berikut :

1. Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
2. Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
4. Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
5. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam nomor 192/IV-Set/HO/ 2006 tentang Prosedur Ijin Masuk Kawasan Konservasi
6. Dan peraturan perundangan terkait lainnya

Bentuk pelanggaran pendakian yang belum/tidak tertuang di dalam peraturan perundang-undangan yang ada (seperti membuang sampah dalam kawasan, vandalisme dll) akan dikenakan sanksi yaitu berupa pembinaan.

VII. PENUTUP

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan kawasan pelestarian alam yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi ekowisata, pendidikan lingkungan dan penelitian. Potensi ekowisata ini, terutama pendakian ke puncak Gunung Gede dan Pangrango sangat populer bagi kelompok pendaki dan pecinta alam. Namun, aktivitas wisata yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan dampak negatif kepada kawasan, yang akhirnya dapat merusak potensi TNGGP sebagai lokasi ekowisata. Oleh karena itu, dalam upaya mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan kawasan TNGGP sebagai kawasan wisata alam, maka pengelolaan pendakian dengan Petunjuk Teknis Pelayanan Pendakian menjadi krusial agar memberikan manfaat baik berupa pengalaman yang memuaskan bagi pengunjung maupun manfaat ekonomi bagi kawasan dan masyarakat.

Semoga petunjuk teknis pelayanan pendakian di TNGGP dapat menjadi panduan dalam pengelolaan pendakian dan pengelolaan ekowisata di TNGGP yang lestari.

Ditetapkan di : Cibodas
Pada Tanggal : 10 Agustus 2009
KEPALA BALAI BESAR,

Ttd

Ir. SUMARTO, MM.
NIP. 19610708 198703 1 002