Kamis, 30 September 2010

Rinjani, Pemukiman Para Dewi

Gara-gara seekor kera dari kahyangan, dari keisengannya memain-main­kan Bulan. Jatuhlah tiga bagian bulan itu ke bumi. Satu, jatuh di Jawa yang ke­mudian menjadi Gunung Merapi 2800 mdpl. Ke dua, jatuh di Bali menjelma jadi Gunung Agung 3014 mdpl, Ke tiga, jatuh di Lombok berwujud Gunung Rinjani. Begitulah kepercayaan yang berkembang di masyarakat Bali.
Rinjani

Sebagai gunung yang tercipta dari bagian angkasa, ke tiga gunung ini mempunyai kekhas-an tersendiri. Merapi, saat ini masih sebagai gu­nung yang paling aktif menggeliat. Agung, dengan sendirinya karena lokasinya berada di tanah Bali yang sangat mempercayai mi­tos tadi, menjadi gunung yang selalu dituju masyarakat Bali untuk upacara-upacara keagamaan.
Rinjani, gunung dengan ketinggian 3726 mdpl yang menurut masyarakat Sasak dipercaya bersemayam Dewi Anjani yang mengendarai seekor kuda yang indah dan memiliki kemampuan supernatural yang selalu berada di sekitar danau Segara anak. Mungkin dari nama Dewi itulah timbulnya nama Gunung ini.
Cerita keindahan gunung yang berada di posisi 80 25’ LS dan 1160 28’ BT ini terus ber­gulir membuat keinginan kami untuk men­jenguknya semakin bertambah. Akhirnya rencana itu terealisasi berbarengan dengan rencana pendakian Gunung Tambora (cerit­anya telah ditampilkan di edisi 5).
Hari itu, Sabtu sore, matahari telah condong ke barat saat land rover yang kami naiki be­ranjak dari kota Lombok. Menyisir pantai barat Lombok ke arah utara bertemankan semburat merah Surya yang hampir tengge­lam. Pantai pasir Senggigi dan karang Mal­imbu membatas jalan sebelah barat, kadang kala laut berada di kaki saat mobil mendaki bibir tebing. Terlihat ombak saling menge­jar damai, burung camar satu-satu terbang diatas buih putih. Di ujung horizon, sebung­kah hitam bersaput awan putih kemerahan menyembul di atas laut. Gunung Agung nun jauh di sana semakin memberi nuansa menakjubkan. Tak rela mesin dipacu mele­watkan pemandangan yang tersaji.
Lapat-lapat terdengar suara adzan dari mes­jid kampung yang terlewati. Memang ber­beda dengan Bali, masyarakat Lombok pada umumnya menganut agama Islam. Namun, karena letaknya berdekatan dengan pulau kahyangan itu, di beberapa tempat masih terlihat pura-pura para penganut agama Hindu. Walaupun begitu, tak terlihat saling curiga diantara pemeluk agama itu.
2 jam sudah jalan aspal mulus membawa kami semakin mendekati tujuan. Pada per­simpangan jalan kearah selatan berupa jalan batu, disitulah kami berbelok arah, menuju desa awal pendakian, desa Torean.
Guncangan mobil memaksa kami berpe­gangan pada sisi kendaraan Four Wheel ini. Lampu menyorot arah di kegelapan. Jalan batu kali ini berubah menjadi jalan tanah dengan batuan besar kiri kanan, bahkan menghadang di tengah jalan. Kerap kali pada satu tikungan, sepasang sinar hijau kebiruan milik binatang malam tersorot lampu. Memang, dengan kondisi jalan sep­erti itu, selepas maghrib tak satupun pen­duduk yang berani menempuh jalan yang tak menyediakan penerangan itu. Selama hampir 30 menit terbanting kiri kanan, be­lum nampak sinar lampu yang menandakan suatu kehidupan kampung.
Akhirnya, dari jauh terlihat kerlip sinar di­antara pucuk daun yang tertiup angin.”Hmm, mungkin sinar itu lampu dari desa tujuan kita,” guman salah seorang di dalam mobil. Menanjak, menggilas batu, menghindari genangan air yang tersorot semakin banyak sinar terlihat menandakan tujuan semakin dekat. Memasuki rumah pertama dari desa itu, puluhan anjing menyalak galak para pendatang. Semakin ke dalam, suara mesin menarik keingintahuan penghuni. Satu dua orang mulai terlihat keluar memeriksa siapa yang masuk desa mereka malam-malam be­gini, mungkin begitu pikirnya.
“Bu, mau tanya. Apa benar ini desa Torean,?” tanya kami pada seorang ibu yang begitu penasaran melihat kami. “Oh, mau ke Torean ya nak ?, Torean bukan disini. Kalian salah jalan,” jawab si Ibu. “Seharusnya kalian belok ke kiri pada persimpangan di bawah,” lanjut si Ibu. “Sial,” pikir kami. Udah jauh-jauh, salah jalan lagi.
Memang, jauh di bawah sana, sebelum masuk desa ini kami melewati simpangan. Namun, karena jalan ke desa ini terlihat lebih bagus, ya jalan inilah yang kami pilih. ‘Masa sih, jalan berbatu yang besar-besar itu yang ke Torean,’. Yah,….. terpaksa mo­bil berbalik arah kembali meninggalkan penduduk yang semakin banyak melongok keributan apa yang melanda desa mereka yang biasanya tenang itu. Kembali jalanan berbatu membuat tubuh kami terbanting kiri-kanan sampai akhirnya simpangan itu terlihat kembali.
Kali ini kewaspadaan semakin digandakan. Jalan tanah berbatu itu seringkali berbelok tiba-tiba. Bila tak hati-hati, satu kedalaman yang pekat siap menanti.
“Eh, itu ada sinar. Mungkin itu Torean,” celetuk Ajo yang katanya pernah ke desa itu beberapa tahun yang lalu. “Iya Jo, katanya pernah kesini, kok salah jalan,” celetuk Meru, sang fotografer. “Soalnya itu kan udah lama, lagian enggak gelap begini,” alasan koman­dan operasi yang ditunjuk untuk pendakian ini. Semakin dekat, sinar yang terlihat tadi semakin terang. Kembali salak anjing men­yambut kehadiran kami. Untuk memastikan agar tak terjadi kesalahan seperti di desa pertama, diputuskan untuk bertanya pada pemilik rumah yang keluar melihat keribu­tan di daerahnya. “Pak, benar ini jalan ke Toren?,” tanya kami. “Betul, tapi Torean masih jauh, Pak,” syukur kali ini arahnya tepat. “Pak, kalau tak salah, sekitar dua ta­hun lalu saya pernah kesini, waktu ada SAR 2 orang dari Jawa, ingat pak ?,” tiba-tiba Ajo nyeletuk. “Kalau enggak salah malah saya sempat tidur di rumah Bapak ?,” kembali Ajo menambahkan. Dengan seksama si Bapak meneliti wajah Ajo. “O, iya betul dulu yang waktu nyari dua orang itu, ya ?,” balik bertanya. “Betul pak !!,” jawab sang komendan. Akhirnya, mengingat perjalanan masih sekitar lima km lagi dengan keadaan gelap seperti ini, tawaran menginap di ru­mah si bapak kami sambut.
Kokok ayam dan gonggongan anjing mem­buat mata kami terpicing. Matahari yang menyorot Beruge, sejenis rumah (saung, bhs Sunda-red) yang banyak terlihat di sawah-sawah semakin membuat kelopak mata enggan mengatup lagi. ‘Uh, baru jam enam sudah terang benderang begini!!. Satu persatu kami yang bertujuh ini keluar dari tempat mengaso malam tadi. “Woii, lihat itu Rinjani !!,” teriak Ajo. Warna kuning keema­san tertimpa mentari pagi pada puncaknya, berpadu dengan batuan membuat peman­dangan yang sungguh menawan. Sayang, kabut putih dengan pongahnya menutup pandangan mata. Tapi, pemandangan ses­aat tadi semakin memacu tekad kami untuk segera lebur dalam keindahan itu.
Selesai makan pagi yang disediakan pemilik rumah, berupa nasi putih dengan lauk garam, cabe dan kacang polong dan penutup buah Mangga yang konon menurut si bapak adalah hasil utama kebun di daerah itu, kamipun pamit untuk meneruskan perjalanan.
Bentuk sungai yang banyak di jumpai sepanjang lintasan
Tanjakan kali ini lebih curam dari hari kemarin. Untuk memudahkan, sebagian memutuskan berjalan kaki. Panas matahari membuat peluh bercucuran di perjalanan se­lama 30 menit itu. Dan, ….. kembali sambutan anjing menandai kalau desa yang dituju telah semakin dekat.
Rumah-rumah beratap seng dan sebagian beratap rumbia tertata rapi di kiri-kanan ja­lan. Beruge, yang seluruhnya beratap rumbia dengan dinding terbuka ham­pir selalu ada di depan tiap rumah. Wajah-wajah kaku melihat dengan pandangan menyelidik. Pada satu warung, kami men­coba mengajak ngobrol pemilik warung. Tak lama berselang beberapa penduduk mencoba mendekati dan ikut dalam obrolan. Rupanya, wajah yang pada mulanya menampakkan ketidak akraban itu sangat berbeda dengan kenyataannya. Dengan keramahan khas desa, mereka begitu terbuka dan antusias akan kedatangan kami. Tak sulit mengorek keterangan dari mulut mereka, baik tentang desa mereka maupun tentang tujuan penda­kian kami.
Desa Torean, merupakan desa pendatang. Desa yang berada di utara Rinjani ini, dihuni oleh para pendatang. Sekitar tahun 1920-an tetua mereka mulai mencoba membuka lereng hutan Gunung Rinjani. Tanah yang subur, dengan lembah-lembahnya yang mengalir sungai bening, memancing mereka untuk mencoba hidup disana. Namun sayang, setelah sekian lama mereka tinggal disana belum terlihat campur tangan pemerintah daerah untuk membantu desa penghasil mangga ini. Hal ini terlihat dari jalan menuju ke tempat mereka yang masih berupa tanah dengan batuan gunung menyulitkan kend­aran roda empat mengangkut hasil buminya. Menjelang matahari sampai di ubun kepala, kami berpamitan untuk mulai melakukan pendakian.
Menapak tanah berbatu kearah ujung jalan desa, akhirnya menyempit menjadi jalan setapak. Bukit-bukit gundul hasil bukaan penduduk, mengapit kiri kanan setapak. Ladang jagung tumbuh di beberapa bukit itu. Semakin jauh meninggalkan Torean, semakin banyak bukit dan lembah yang telah gundul hutannya. Asap mengepul dari tempat pembakaran kayu hasil tebangan penduduk. Ajo, yang pernah melalui jalur itu sekitar dua tahun lalu, merasa asing dengan keadaan saat itu. Jalur yang seharus­nya melalui hutan, sekarang telah berubah menjadi areal terbuka yang membuat leluasa matahari menimpakan panasnya. Kondisi seperti itu, cukup menguras tenaga.
Hutan yang dibuka penduduk
Beberapa kali, saat beruntung melewati po­hon yang belum sempat ditebang, kami man­faatkan sekedar mendinginkan tubuh dari sengatan penguasa siang. Setelah sekitar satu setengah jam, akhirnya nampak gerum­bul pepohonan di seberang sungai kecil.
Genangan air dari aliran kecil sungai itu tertahan di bebatuan. Apakah surutnya air itu karena semakin jarangnya hutan karena ditebang, atau hujan masih enggan menga­lirinya, entahlah!!.
Menapak dibebatuan sungai, jalan setapak rimbun langsung memaksa langkah me­makai gigi satu. Tanjakan curam itu mem­bawa kami dalam kegelapan hutan yang melalui satu plang peringatan pengelola hutan, PHPA.
Tiba-tiba, menyusul satu gemuruh diang­kasa, titik air mulai turun satu-satu. Makin lama, semakin kerap, semakin besar. Pan­dangan menjadi buram tertutup tirai hujan yang semakin rapat. Dan, cahaya mataha­ripun tak kuasa menembus tirai basah itu. Jalanan terus menanjak, akar-akar pohon yang melintang membantu pijakan dari licin­nya lumut dan aliran air. Begitu derasnya air yang tercurah mengubah jalan setapak menjadi aliran sungai yang cukup besar.
Menuju Pos I
Pada satu dataran, tiba-tiba setapak menu­run tajam. Melipir pada satu puncak pung­gungan yang cukup besar, akhirnya turunan itu berakhir pada satu sungai yang hilang di kedalaman. Berada pada satu bagian atas satu air terjun yang cukup dalam, membuat kami berhati-hati untuk menjejakkan kaki diantara batuan sungai. Lintasan ini memang cukup berba­haya, lumut-lumut yang menghias batu pi­jakan akan menjadi malapetaka bila hilang konsentrasi.
Setelah satu tanjakan yang cukup terjal, kembali jalur menurun. Kali ini dengan guide pipa air yang berada di sisi kanan setapak, membawa langkah kami menuju bangunan shelter. Lho, kok ada pipa ?. Oh, mungkin pipa ini yang sebelumnya kami lihat sepanjang perjalanan saat mulai men­inggalkan desa Torean. Pipa besi itu dibuat untuk mengaliri desa Torean dan sekitarnya. Selain untuk ladang, kebutuhan minum juga diperoleh dari air itu.
Memanfaatkan sungai kecil dekat bangunan shelter, pada satu didinding batu yang ter­curah derasnya air, itulah sumbernya. Kel­ebatan hutan disekitarnya terlihat terjaga dengan baik. Mungkin mereka sadar, kebu­tuhan akan air tak akan mereka dapatkan bila hutan sekitarnya terganggu.
Sumber Air yang dialirkan ke Desa Torean
Kembali ke shelter, bangunan panggung dari papan kayu dan beratap seng sekitar 2 X 3 meter itu terlihat masih cukup terawat. Selain sungai kecil yang melintas jalan setapak tak jauh dari bangunan itu, satu sungai cukup besar di depannya membuat tempat ini me­menuhi kriteria tempat bermalam. Sayang, tempat ini bukanlah tujuan kami hari itu. Setelah makan siang yang terlambat hampir 2 jam, hujan mulai agak reda yang mengantar langkah meninggalkan tempat itu.
Shelter (Pos I)
“Wah, lihat dinding itu !!!,” “Wih, indah sekali,…”. Selepas satu tanjakan tegak sekitar 80 derajat, nampak jelas sebuah lembah dalam dibatasi lereng curam yang hanya ditumbuhi rumputan hijau. Saat kepala menengadah, ujung dinding terlihat satu, dua pohon seakan hendak menggapai langit. Namun, hanya sesaat sajian alam ini dapat kami nikmati. Kabut putih dengan cepat memulaskan warnanya.
Air terjun Kokok Putih
Berada di satu sisi lembah dalam, disanalah jalan setapak berada. Tiupan keras angin lembahan, membawa titik air yang dingin. Dan… melipir pada satu tebing melewati bekas aliran air, nampak satu cerukan dalam. Pada satu sisi dinding yang memagarinya, satu garis putih tebal menjuntai lurus sam­pai dasarnya. Sungai Kokok Putih, itulah nama garis putih itu. Sungai belerang yang berasal dari satu dataran di atas sumur dalam itu membuat harmonisasi keagungan Tuhan itu semakin mempesona. Sesaat, tirai putih membuka dengan cepat. Nuansa warna pelangi, muncul dari dasar lembah yang tertangkap oleh percikan air yang pecah di dasar lembah. Sungguh suatu pemandangan yang indah, yang tertangkap di mata kami. Sejenak perjalanan tertahan untuk menik­mati karya spektakuler itu. ‘Great scenery’ yang tertulis di peta, saat itu terbukti kebe­narannya. Kalau saja sekitar lokasi itu ada satu dataran untuk menampung kami yang bersembilan ini, pasti skenario hari itu akan berubah.
Menuju camp I dengan latar belakang Kokok Putih
Melalui lereng curam, sekali-kali berpegan­gan pada rumputan pada dinding lereng, kami meneruskan perjalanan. Jalur ini sangat menuntut konsentrasi tinggi. Len­gah sedikit, dasar lembah yang menyerupai sumur raksasa itu siap menanti.
Berjalan diantara tebing dan jurang
Setelah melalui beberapa sungai kecil den­gan kolam-kolam beningnya, di depan kami nampak sebuah sungai cukup besar yang bermuara di Kokok Putih. Berjalan diantara batu sungai, kami berhasil menyeberang­inya dengan selamat. Di satu dataran tepat di seberangnya, disanalah akhir perjalanan kami.
Satu peristiwa yang membuat kami was-was dan siaga. Ketika tenda didirikan, pada satu tebing batu yang tak jauh dari lokasi tenda, nampak sebentuk hitam berekor mencoba melongok siapa yang mengusik ketentramannya. Macan atau ….. Syukurlah, rupanya hanya seekor monyet cukup besar (lutung) kira-kira sebesar anak 5 tahun be­gitu penasaran mengamati polah manusia yang berada di bawahnya. Ketika tersadar kamipun mengetahui keberadaannya, den­gan gesit ia menghilang diantara cerukan mirip gua di tebing hitam itu.
Menyadari kehadiran bi­natang itu, untuk menjaga kemungkinan buruk, per­bekalan dan barang kami packing dengan aman. Malam itupun, dite­mani bintang yang berkelip dan bulan yang masih setengah bersinar kami terlelap dalam buai mimpi. Zzzzzzzzst…………..
“Lho, kemana airnya ??,” teriakan heran ter­lontar saat pagi itu kami hendak mengambil air. Sungai yang kemarin begitu deras, saat itu hanya menyisakan batu-batu besar di­antara pasirnya. Lalu kemana airnya, apakah alirannya berubah ??. Menjawab kepena­saran, beberapa orang mencoba menyusur ke arah hulu. Terjawab sudah pertanyaan itu…… rupanya air yang mengalirinya terserap di pasir yang menjadi dasarnya. Pada kolam yang terbentuk diantara batu-batu dekat dinding batu hitam, air itu jatuh dan hilang terserap yang dan entah dimana muncul kembali. Air yang deras kemarin itu, mungkin tercipta dari hujan deras yang hampir tiga jam mengguyur kami.
Menyeberang Kokok Putih
Pernah mendengar Machu-Pichu, jalan setapak di pegunungan suku Inca ?. Seperti itulah lintasan yang kami hadapi di hari ke dua. Berjalan diantara lembah dalam pada dinding punggungan curam yang tegak hampir 70 derajat, hanya menyisakan seki­tar 20 sampai 30 cm untuk pijakan menjadi lintasan kami. Kewaspadaan pada lintasan ini haruslah tinggi. Salah langkah dan kes­eimbangan, jurang menganga siap menanti. Tiupan angin yang cukup keras, menam­bah kesulitan membuat oleng tubuh yang terbebani ransel yang cukup berat. Pada beberapa bagian, terdapat jalur yang putus menambah faktor kesulitan itu. Kadangkala kami harus meloncat untuk mencapai pija­kan diseberangnya, atau sedikit traversing di dinding tebing. Akhirnya jalur yang cukup menguras konsentrasi itu dapat kami lewati sampai akhirnya turun menuju aliran Kokok Putih.
Kokok (bhs, Lombok), yang berarti sungai itu sesuai namanya memang berair warna putih. Sungai yang berasal dari kawah Rinjani itu sangat pekat kandungan belerangnya. Saat itu lebar sungai sekitar 20 meter itu, hanya terisi sekitar 3 meter. Alirannya yang cukup deras membuat kami memilih jalur untuk menyeberanginya. Hampir selutut kedala­man sungai ketika kami menyeberanginya. Dasar sungai yang berbatu, terasa licin keti­ka sol sepatu menginjaknya. Beberapa orang sempat terpeleset membuat hampir seluruh badannya basah oleh air asam sungai.
Kembali satu tanjakan curam menanti di ujung dataran hutan cemara. Bukit curam setinggi lebih dari 75 mtr tegak di hadapan kami. Jalan setapak yang terlihat menga­rah ke dindingnya yang hampir 60 derajat. Suara nafas terdengan memburu, keringat mengucur deras di udara dingin bercampur gerimis. Lepas satu setengah jam mendaki, satu dataran yang cukup luas ditumbuhi satu dua cemara menjadi tempat menetral­kan kembali paru-paru. Kabut memudar, perlahan terlihat warna kuning kemerahan pada dinding berbatu di balik punggungan kecil diseberang lembah. “Kayak Dinding Carstenz, ya !” celetuk saya (padahal cuma pernah lihat fotonya doang). “Heueuh, euy,” jawab yang lain menyetjui (entah bener tau atau sama cuma lihat fotonya saja). Ber­samaan dengan kabut yang kembali turun, perjalanan kembali dilanjutkan.
Berjalan diantara 2 lembah dalam yang men­gapit kiri kanan setapak, terlihat beberapa air terjun menghias dinding diseberang kiri kami. Sajian alam yang tak habis-habisnya itu melupakan semua kelelahan sebelumnya. “Tanjakannya memang gila, tapi pemandan­gannya indah seperti ini sih, enggak rugi!,” komentar Gatot yang pegawai minyak ini. Tak ada satupun yang menyela omongan si keriting ini, seakan setuju dengan pen­dapatnya.
“Ke bukit batu itu jalurnya, Jo ?”, tanya saya. Dengan mengangguk, si kurus ini terus ber­jalan menuju bukit yang dimaksud. Sebuah batu besar yang mengalir air di beberapa bagiannya tertutup lumut berwarna ke­unguan, satu-satu kami tapaki sampai ke puncaknya. Sebuah dataran dibatasi aliran sungai, sejenak kami hentikan perjalanan untuk istirahat. “Wuihhh, panas euy !!!” ke­tika tangan mencoba meraih air sungai, tern­yata tak sedingin yang saya kira. Saat kami cicipi, ternyata rasanya cukup tawar tanda kandungan belerangnya tak terlalu pekat. Lumayan, walau kami tak berani memin­umnya tapi cukup menyegarkan wajah.
Melewati satu kolam yang berongga, gelem­bung air keluar yang kami kira adalah sum­ber air panas tadi. Menyeberang alirannya, kembali tanjakan menanti. Kali ini tumbuhan listrik, Jelatang mengapit kiri kanan setapak. Dengan kayu, kami mencoba memperlebar jalan yang tertutup tumbuhan panas ini. Be­berapa tanjakan, satu dua turunan, akhirnya setelah berhasil mendaki puncaknya….. Satu genangan air raksasa nampak didepan kami. Itulah Segara Anak, danau yang tercipta dari kaldera Rinjani yang menjadi akhir perjalanan hari itu.
Satu bangunan tanpa dinding dan beratap seng di sisi danau, saat itu telah berdiri satu tenda. 3 orang pribumi tengah asyik membuat api dan memasak. Ketika kami mendekat, dari dalam tenda keluar 2 orang berambut pirang, satu wanita dan satu lagi laki-laki. Dari obrolan ketahuan, si pirang yang orang Jerman itu tengah istirahat setelah ia berhasil mencapai puncak. Dite­mani 3 porter yang merangkap sebagai guide mereka memutuskan istirahat di shelter itu. Karena tak kebagian lahan, pada dataran yang lebih tinggi di sisi danau kami mendiri­kan tenda diiringi curah hujan yang kembali turun dengan deras.
Pukul empat sore, ketika lagit lelah menu­runkan air…… matahari senja mulai keluar dari persembunyiannya. Warna merah tua melumuri dinding gunung yang kadang kala pada puncaknya yang terdapat kawah berukuran 170 x 200 mtr itu mengeluar­kan asap putih. Gunung Barujari, itulah namanya. Gunung yang tingginya antara 2296 – 2376 mdpl itu tercipta oleh aliran lava dan bahan lepas. Konon gunung ini aktif memuntahkan lahar hampir disetiap tahunnya. Paduan komposisi bentuk dan warna yang tercipta saat itu, terlihat mem­pesona. Latar belakangnya, pada dinding yang lebih tinggi terlihat warna merah yang tersaput kabut putih. Puncak Rinjani terlihat menjulang pada sisi lainnya, semakin me­nambah pesona sore itu. Pada permukaan danau di ketinggian 1998 mdpl, dengan luas sekitar 11.000.000 m2 (mungkin saat ini lu­asnya semakin berkurang karena terdesak oleh bahan lepas dari Gunung Baru jari yang semakin meluas), terlihat seolah kaca yang memantulkan awan di atasnya. Kecipak air yang dibuat ikan di dalamnya memberi pesona tersendiri. Terlihat si pirang di ujung daratan yang menjorok ke tengan danau juga tengah menikmati sajian agung ini.
Segara Anak dengan latar belakang G. Baru Jari
Berbivak di sisi Segara Anak
“Husss, huss, pergi sana !!,” seekor monyet abu-abu cukup besar mencoba mendekati tumpukan makanan yang masih berada di luar. Bukannya lari, primata yang katanya banyak terdapat di sekitar danau ini malah semakin berani mendekat. Memperlihatkan giginya yang runcing, si bandel ini malah balik menakut-nakuti. Memang menurut cerita, karena telah terbiasanya mereka dengan manusia, mereka bahkan berani mencuri makanan dan barang yang mampu ia bawa. Teman kami yang sebelumnya per­nah ke sini, bahkan harus bersusah payah mendapatkan kembali mangkuk mistingnya yang dicuri simonyet keatas pohon. Setelah jemu mencoba mencari makanan yang te­lah kami selamatkan dan tak ada lagi yang bisa dibawa, pencuri berekor inipun berlalu dengan kesal.
Setelah memasukan makanan dan bawaan yang sekiranya bisa mengundang monyet, atau binatang lainnya, pintu tenda ditutup untuk mengurangi hawa dingin yang men­capai 100c. Hampir tengah malam, saat mata mulai mengatup, tiba-tiba kami dikejutkan suara gemuruh yang datangnya di belakang tenda. Sesaat kami terjaga, menanti dengan was-was gerangan apa yang terjadi. Namun, rupanya serangan kantuk lebih giat diband­ingkan was-was. Satu persatu, kembali tu­buh berlindung di balik kepompong tidur tanpa satupun yang mau melihat sumber gemuruh tadi.
“Permisi…., permisi….,” uluk salam terdengar dari luar. Ketika pintu tenda di buka, angin dingin segera menyergap. Satu tubuh den­gan bawaan dipunggungnya terlihat di de­pan tenda. Rupanya salah seorang porter si pirang yang membuat suara tadi. “Ini mas, kalau-kalau mas butuh sayuran kami tinggalkan disini,” ucapnya. Rupanya sepagi itu, sekitar jam lima ia telah siap mening­galkan danau menuju ke arah Senaru. Sisa makanan berupa sayuran yang masih agak segar rupanya sayang untuk di buang. Walau setengah mangkel karena tidur yang terganggu, namun kami tetap menghargai kebaikannya. Setelah mereka pergi, kem­bali kepompong tidur membuai impian yang tertunda.
“Hei, lihat gua dapat ikan..!!” teriak saya. Pada ujung tali kail yang saya temukan di shelter, seekor ikan kecil menggelepar men­coba meloloskan diri. Sebuah rantang diisi air disiapkan untuk menampung ikan itu. ‘Siapa tahu bisa dapat serantang , bisa pesta ikan pagi ini,’ pikir ku. Sialnya, harapan itu tak terbukti. Setelah lebih se jam memancing, cuma 2 ekor mujair yang di dapat, itupun tak lebih besar dari dua telunjuk orang dewasa. Akhirnya dengan terpaksa 2 ekor ikan ma­lang itu dikembalikan ke asalnya.
Mandi pagi dengan air panas di udara dingin, siapa yang nggak mau ?. Itu juga yang kami lakukan pagi itu. Jauh sedikit tak masalah. Berada di satu lembah yang cukup dalam, di­antara rekahan batu keluar air yang di salur­kan melalui pipa besi membentu pancuran. Pada bagian lain, dari lubang batu menyem­bur air mengepul uap putih membentuk kolam-kolam. Tinggal pilih, mau mandi pancuran atau berendam, mau yang panas atau yang agak hangat. Setelah pilih-pilih air yang paling dingin, masih saja teriakan men­gaduh saat air belerang itu menyentuh kulit tubuh. Setelah adaptasi agak lama, barulah kami bisa menyesuaikan panas air itu. Me­lihat aliran, dan lembahan yang bisa kami analisa di peta, disinilah rupanya sumber air sungai Kokok Putih yang sebelumnya sempat kami seberangi itu. Saat kembali, terjawab was-was semalam. Rupanya, entah karena hujan deras kemarin, beberapa bagian tebing batu bercampur tanah dekat sumber air itu longsor.
Kolam-kolam di lintasan
Matahari telah mulai merambat ke tengah saat kami tinggalkan danau dan beberapa plastik makanan untuk kami jemput saat turun nanti. Diiringi rinai hujan, kami mendaki bukit di belakang shelter. Berada pada satu lereng yang mengarah ke utara, disitulah kami berjalan. Kabut, begitu cepat turun membutakan pandangan ke sekitar. Berbekal setapak yang sangat jelas terlihat, menjadi panduan arah. Sampai akhirnya……, satu dinding memanjang menjulang di depan mata. Ke arah sanakah perjalanan ini ?
Meninggalkan Segara Anak
Setapak mengarah ke tanjakan yang penuh batuan itu tampak tak memberi pilihan lain. Dengan sesekali berpegangan pada batu, satu persatu langkah terayun mengangkat tubuh semakin tinggi mendaki. Di beberapa tempat, undakan semen yang telah hancur dengan pipa besi yang tersisa untuk pegan­gan masih menyisakan usaha pengelola hutan memfasilitasi para pendaki. Entah siapa yang membangunnya, apakah dibuat di jaman belanda atau oleh pihak taman na­sional ? kami kurang mendapat informasi mengenai itu.
Lintasan berbatu
Satu tanjakan terlewati, tanjakan lain segera menanti. Jalur normal, terlihat dari bekas se­men yang telah hancur, bercabang dengan jalur pintas yang memiliki tingkat bahaya tinggi. Jalan pintas ini, sesuai namanya lebih pendek tapi lebih curam dari jalur normal yang lebih panjang karena memutar agar lebih landai. Namun, dengan kondisi yang jalan yang hancur akibat longsor menjadi sama berbahayanya. Untuk memilih salah satunya, konsentrasi dan menjaga keseim­bangan harus tetap tinggi.
Akhirnya…….., setelah hampir 3 jam, pada satu dataran sempit ditumbuhi cantigi, jalur ini bermuara di jalur lain dari arah Sembalun. Ke arah kiri, ke Sembalun, dan kearah kanan ke arah Plawangan, puncak. Selesai beristi­rahat sejenak, saat berkemas melanjutkan perjalanan, dari arah plawangan muncul 2 orang, satu wanita pirang, satu lagi pribumi. Dari perkenalan, rupanya wanita yang ber­nama Paula yang asal Chili dan ditemani se­orang porter itu menuju lokasi yang sama, Plawangan.
Menuju Palawangan
Di bawah kumpulan cemara, tenda didiri­kan. Belum sempat menyalakan api, titik air kembali turun dengan derasnya. Angin keras membawa hawa dingin yang menusuk, membuat kami berpikir dua kali untuk keluar tenda. Mie instan, cukuplah sekedar meng­ganjal perut melawan dingin yang menusuk. 10oc suhu yang terbaca pada termometer!!.
Saat jarum pendek jam menunjuk angka antara delapan dan sembilan malam, baru­lah hujan reda. Langit terbuka menampilkan bintang yang gemerlap. Bulan tiga perempat mulai menampakkan sinarnya. Nun di ba­wah sana, kerlip lampu mulai tampak dalam pandangan. Satu persatu, penghuni tenda mulai keluar memenuhi panggilan perut walau suhu udara tak berkurang dinginnya. Acara memasakpun mulailah…….
“Duk, duk,…….. kerosrakkkk…..!!”, terdengar suara diluar tenda. Tak berapa lama terdeng­ar suara wanita yang berbicara dalam bahasa Inggris yang di jawab dengan terpatah-pa­tah oleh seorang pria. Dari pembicaraannya mereka sepertinya ingin membangunkan kami untuk bersama-sama mencapai pun­cak. Saat melihat jam, gila….baru pukul tiga!!!. ‘Uh, pagi bener’ pikir saya. Menyadari tak ada reaksi dari penghuni tenda, akhirnya mereka meninggalkan kami.
Belum lagi mata terlelap, terdengar lagi suara dari luar datangnya dari tenda sebe­lah. “Bangun…… bangun, persiapan, genk!!!!”, satu teriakan menyentakkan buaian mimpi. Ketika melihat jam, empat tiga puluh waktu saat itu. Sesuai kesepakatan kemarin, itulah waktunya. Dengan malas, Gatot, saya dan Why mulai bereaksi. “Hoy, bangun!!!!”, kali ini peringatan ditambah pukulan di tenda. Ajo, rupanya telah keluar dari rumah tidurn­ya. Begitu tenda terbuka, ‘wussssss…’ angin dingin langsung menyergap seolah menga­jak kembali masuk kebungkus tidur. Namun, perjanjian telah disepakati, pelaksanaan ha­rus dimulai. Setelah membereskan makanan dan barang, ‘summit attack’ mulai.
Lintasan pada awalnya cukup mudah. Tak lama kemudian, pasir hitam yang cukup besar jadi pijakan. Disinilah ujian mulai te­rasa. Saat satu kaki terpijak dan kaki yang lain mulai terayun, pijakan pertama mel­orot beberapa senti ke belakang. Kondisi seperti itu terasa sangat menguras tenaga. Semakin jauh, kali ini bukan pasir lagi yang terpijak. Kerikil sebesar jagung ternyata lebih menjemukan. Saat itu, sepatu yang saya kenakan ternyata tak kuat menghadapi medan seperti itu. Jahitan sol depan yang memang sebelumnya mulai rapuh, kali ini putus membuka sol dari badan sepatu. Be­berapa kerikil dan pasir mulai nakal mengisi ruang yang diciptakan. Beberapa kali lang­kah terhenti sekedar mengeluarkan kerikil dan pasir. Tali rafia dicoba mengikat sol yang lepas, namun hal inipun tak mem­bantu. Apa daya, akhirnya dibiarkanlah sol itu menganga.
Mendaki sesiang seperti ini, memang banyak tantangannya. Selain tak sempat menikmati sunrise, saat tengah susah payah mendaki, matahari dengan sinarnya langsung men­ghujam ke mata. Hal ini, sungguh meng­ganggu pandangan. Meru, Ajo, Why dan Menneer, telah jauh meninggalkan saya, Jejen dan Kimin. Terlihat mereka semakin dekat menuju puncak. Dari arah puncak, 2 orang terlihat turun menuju arah kami. Rupanya Paula dan porter telah sampai ke puncak dan sekarang bergerak turun. Saat berpapasan, sejenak empat orang terdepan ber ‘say hello’ sampai akhirnya kami, tiga paling belakang ikut bergabung.
“Kami tadi berangkat pukul tiga, tapi kalian masih tidur. Jadi kami berangkat duluan,” be­gitulah kira-kira ucapan Paula yang dijawab dengan senyuman (bukannya kami tak tahu, apa daya ‘sleeping bag’ lebih nikmat dari pada ajakan kamu, Paula….). Setelah sejenak ngobrol sekalian menyesuaikan nafas di udara yang mulai tipis, kami pamit untuk meneruskan pendakian sementara Paula dan porter kembali ke Plawangan.
Kondisi menuju puncak
Berpose di Puncak Rinjani
Matahari mulai agak tinggi saat kaki mulai menjejak di puncak Rinjani yang sempit. Tak ada triangulasi di areal yang lebar sekitar 2 mtr itu. Ujung puncak langsung jatuh ke jurang yang dalam. Sementara sisi Timur dibatasi jurang ke arah kaldera mati dan sisi Barat ke kaldera danau Segara anak. Memandang ke arah Timur, nun jauh disana, laut berbatas Gunung Tambora terlihat sa­mar. Di Barat, sebentuk hitam yang diyakini sebagai gunung Agung menyembul diatas awan. Tak lama, kami menikmati pemand­angan itu, terik matahari semakin menghu­jam di kepala. Segeralah satu persatu, kami mulai meninggalkan puncak.
Kawah sebelah Timur
Kaldera sebelah barat
Turun, bukanlah pekerjaan gampang. Den­gan pasir dan kerikil yang bergerak, salah-salah kaki akan mudah terpeleset. Apalagi saya, dengan sepatu yang menganga !!!. 1,5 jam berkutat di pasir menjengkelkan itu, akhirnya kumpulan cemara tempat tenda yang ditinggalkan mulai terlihat.
Jalur menuju sembalun
Asap mengepul menandakan satu kegiatan tengah berlangsung di sana. Benar saja, Why yang lebih dulu tiba, saat itu telah asyik dengan olahan masakannya. Sementara Ajo tengah membakar sampah yang banyak bertebaran di sekitar tenda. Begitu sampai, satu kabar mengejutkan saya terima. Nasi yang telah disiapkan se­malam dan makanan dalam plastik hilang digondol maling!!. “Gila siapa yang berani berbuat seperti itu??” gerutu saya dalam hati. “Kemungkinan, monyet atau tikus yang ber­buat itu, Ris,” duga Jejen yang asli Cianjur ini. “Mistingnya saya temukan di lembah,” sambung Ajo. Apa mungkin, monyet abu-abu kemarin di danau yang kami usir yang ber­buat. Mungkin ia dendam dengan perlakuan kami, dan terus mengikuti untuk membalas ?, entahlah. Yang pasti saat itu sebagian per­sediaan makanan yang berada di luar ludes. Untunglah beberapa kantung plastik masih tersisa di dalam tenda. Dengan itulah Why mengolah masakan.
Dari obrolan sambil menunggu masakan matang, rencana awal untuk kembali ke danau dan turun lewat Senaru akhirnya berubah. Dengan makanan yang menipis, serta harus mendaki lagi setelah Segara Anak untuk mencapai jalur turun ke Sen­aru yang menjadi pertimbangan. Akhirnya, Sembalun menjadi pilihan kami untuk turun. Lalu makanan yang kami timbun di danau bagaimana ? Biarlah makanan itu untuk pendaki lain yang beruntung menemukan, atau malah sudah tercium monyet ?
Pukul satu, setelah makan siang perjalanan turun di mulai. Melalui padang rumput yang terus menghias kiri-kanan jalur terasa sung­guh menjemukan. Turunan-turunan tajam membuat dengkul terasa linu. Kimin, yang sebelumnya telah bermasalah dengan lutut­nya, paling merasakan penderitaan itu. Ber­jalan lambat paling belakang, ia tak mampu bergerak cepat. Sesekali ia bersender di pohon, mengistirahatkan kakinya. Jejen dan Meru, dua geologiawan ini, maklum dengan kondisi si pakar komputer itu. Setiap 30 menit ia berhenti untuk memberi waktu istirahat pada yang lain.
Saat beristirahat barulah kami sadar dengan keadaan kami. Muka kami penuh dengan coreng hitam arang. Rupanya, saat berpe­gangan di pohon. Pada bagian batang yang hangus terbakar, entah karena kebakaran sebelumnya atau karena proses alami, ter­pegang dan tak sadar menempel di muka saat menyusut keringat. Lumayan, meli­hat keadaan muka yang seperti itu cukup memberi hiburan. Satu sama lain saling mengolok mengidentikan dengan binatang yang dingatnya.
Jalur Sembalun sangat berbeda dengan To­rean yang kaya air. Sepanjang perjalanan turun, tak pernah kami menjumpai sungai, bahkan genangan air sekalipun. Barulah, ke­tika kami sampai di pos empat berupa shelter yang berada di satu dataran padang rumput, terdengar gemericik air. Sebuah sungai besar dengan aliran kecil mengalir tak jauh dari pos. Sejenak kami melepas lelah pada batuan besar di tengah sungai itu.
Meninggalkan pos satu, setelah melewati jembatan beton, terdapat dua jalur. Jalur yang dipilih adalah jalur yang mengarah ke hutan kecil. Binatang malam mulai memperdengar­kan suaranya saat kami muali memasukinya. Padahal waktu masih setengah lima!. Lepas dari hutan kecil, melewati sebuah sungai, nampak di depan sebuah dataran yang baru dibuka. Bekas traktor dan buldozer menggu­rat jelas di tanah yang basah. Dari jauh terli­hat sebuah gubug, sementara dua kendaraan itu parkir di sebelahnya. Tak ada seorangpun yang berada disana, saat kami melewatinya. Berjalan mengikuti jalan yang dibuat kend­araan itu, akhirnya sampailah pada sebuah bangunan yang mirip Velodroom. Apakah di tempat terpencil seperti ini ada sarana balap sepeda ? pertanyaan itu untuk sementara kami simpan, soalnya waktu terus berjalan menuju kegelapan.
Ketika sampai di desa, barulah kami ketahui bangunan yang mirip Velodroom itu adalah tempat penampungan air hujan. Tampungan itu digunakan untuk mengairi ladang dan sawah di sekitarnya. Dan, dari keterangan penduduk ternyata Sembalun masih sekitar 2 km jauhnya. Di simpang jalan setelah pos satu itulah rupanya kami salah mengambil jalur. Tak apalah pikir kami, toh kalaupun ke Sembalun, nanti juga saat kembali ke Lombok akan kembali melalui desa ini.
Pembagian tugas dilakukan untuk mengam­bil kendaraan yang ditinggalkan di Torean. Ajo dan Why yang ahli kuda ini mendapat tugas tersebut. Lewat tawar menawar yang cukup alot, akhirnya mereka bersedia as­alkan dua motor. Rupanya dalam keadaan gulita seperti ini, biasanya tak ada yang be­rani lewat daerah yang dituju. Banyak ram­pok, alasannya. Dengan ojeg seharga 20.000 rupiah per motor, merekapun berlalu.
Sekitar pukul sepuluh, 2 motor yang men­gantar 2 rekan kami itu kembali. Dari ket­erangannya, mereka hanya mampu men­gantar sampai pertigaan yang menyesatkan kami kemarin. Dari sana, dua utusan itu terpaksa berjalan kaki.
Ketika diputuskan untuk bermalam ditempat penduduk yang menawari rumahnya. Lewat tengah malam, terdengar suara mesin mo­bil yang sangat kami kenal. Bergegas saya keluar memberi tanda pada si pendatang. Betul juga, mereka telah kembali dengan kendaraannya.
Sebenarnya, ketika sampai di Torean yang disambut dengan keheranan penduduk, mereka ditawari untuk bermalam disana. Kedatangan dua utusan itu, pada saat mereka bersiap masuk peraduan merupa­kan hal yang luar biasa. Soalnya, mereka sendiri sebagai penghuni belum pernah melakukan hal seperti itu. Disamping takut hantu, yang sangat mereka percayai, ram­pok alasan lainnya. Namun, tawaran baik itu terpaksa mereka tolak mengingat tugas yang diembannya.
Apa daya, niat dadakan untuk bermalam di desa itu segera berubah kembali. Setelah packing, kamipun pamit pada tuan rumah yang baik itu.
Benar saja, ketika kami mencoba jalur yang ditakuti pengojek itu. Jalan yang sepi, penuh belokan tajam di tengah rimbunnya hutan memberi kesan angker. Sungguh satu tempat yang ideal bagi rampok yang katanya suka mencegat kendaraan yang lewat den­gan melintangkan batang pohon di tengah jalan. Untunglah, saat kami mencobanya tak terjadi cerita-cerita itu.
Pukul dua lewat tengah malam, saat itu hanya Gatot senagai supir dan saya, navi­gator yang masih mampu membuka mata. Sementara, yang lain telah terbuai dalam mimpi. Mungkin mereka telah lelah dengan kegiatan kemarin, terutama dua utusan yang harus mengeluarkan tenaga ekstra. Saat memasuki Pameunang, menjelang Senggigi, supir digantikan Kimin. Belum sempat Gatot memejamkan mata, Ciiiiiitttt….!!!!! Dengan tiba-tiba mobil berhenti mebangunkan selu­ruh penumpang di dalamnya. “Bannya lepas satu, ya ??” serentak penumpang bagian be­lakang yang sebelumnya terlelap bergerak keluar. “Kok, masih ada bannya, lalu ke­napa berhenti?” tanya mereka keheranan. Entahlah, yang saya tahu tiba- tiba saja mobil terhenti di tengah kecepatan yang lumayan tinggi. “Kepinggirin dikit Min, biar enggak di tengah,” pinta Gatot. Namun saat gigi persneling dimasukkan, dan gas ditekan tak jua barang besi ini bergerak. “Dorong….!!” sekuat tenaga, kami mendor­ong, tetap saja benda berat ini tak mau pindah. Disinilah kepiawaian Why teruji. Dengan bantuan senter ia membong­kar bagian yang dicurigainya sebagai biang masalah.
Tengah asyik membongkar, saya yang tengah tiduran di aspal segera bangun siaga. Dari jauh terlihat beberapa orang mendatangi dengan membawa sutu benda pan­jang di tanggannya. Ajo yang juga melihat hal itupun segera bereaksi, sementara para montir saking as­yiknya tak mendengar bisikan siaga saya dan Ajo. Semakin dekat, saya beranikan diri untuk menegur duluan sekalian mem­beri tahu yang lain. “Ada apa, Pak ?,” tanya saya seramah mungkin. Dari dekat, terlihat jelas benda panjang yang tadi saya lihat, se­buah kelewang (golok). “Sedang apa disini ?,” tanya salah seorang dari rom­bongan yang saya perkirakan lebih dari sepuluh orang itu!. “Mogok, pak. Tiba-tiba saja mobil berhenti,” jawab saya. Saat itu, dua motor mendekat dengan penumpang masing-masing dua orang membawa sesuatu dipunggungnya. “Mogok,” jawab orang pertama yang saya tanya menjawab pertanyaan pengendara motor dalam bahasa yang saya tak mengerti. “Ooooh,” dengan segera ia berbalik arah dan hilang di kegelapan.
Sketsa Jalur
Syukur, saya berucap dalam hati. Rupanya, mereka adalah peronda dari desa yang tak jauh kami lewati, Pameunang. “Maklum, di daerah ini sering terjadi perampokan. Ketika kami mendengar suara rem yang tiba-tiba, kami mengira tengah terjadi per­ampokan,” jelas orang pertama yang saya tanya, kelihatanya ia pemimpin rombongan itu. Kelewang yang sebelum-nya mereka genggam, telah hilang dibalik baju mereka. Setelah berbasa-basi dan menganjurkan un­tuk mengambil jalan lain, merekapun segera meninggalkan kami. Ups,.. lega rasanya….. setelah berkutat mencari sumber kerusakan, para montir akhirnya menemukannya. Rupanya gardan belakang karena kurang pe­lumas telah rontok. Alhasil, mobil bisa maju dengan cara melepaskan gardan tersebut. Dan mulai saat itu, kendaraan four wheell tersebut hanya mengandalkan tarikan dari ban depan saja untuk sampai ke Lombok, kota transit sebelum kembali ke Bandung, pulau Jawa.
(Literatur; Data dasar Gunung Api Indonesia cetakan 1979, Inilah Lombok edisi)

Penulis: Haris Mulyadi
Foto : Meru dan Gatot
Buletin Wanadri, Edisi 7 Tahun 2001